Saat sedang berjalan, mungkin pernah anda memperhatikan bahwa di sekeliling anda banyak terlihat wajah-wajah Asia Tenggara. Mereka yang datang bekerja di Taiwan, dengan penuh harapan, bertahan dalam kesulitan meninggalkan kampung halaman, tidak lain hanya demi harapan untuk mengejar kehidupan yang lebih baik.
Demi mewujudkan apa yang mereka harapkan, Chen Kai-xiang dan Wu Zhi-ning, dua muda-mudi generasi baru ini berinisiatif membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “One-Forty” dengan meluncurkan serangkaian pelajaran “Sekolah Bisnis Buruh Migran” dan “Hari Minggu Asia Tenggara”, agar para migran dengan latar belakang yang berbeda tidak lagi merasa kesepian, sehingga harapan yang ada di dalam hati mereka mungkin dapat diwujudkan suatu hari nanti.
Vivi seorang siswi LSM One-Fourty dalam videonya menunjukkan kertas yang mengambarkan toko impiannya, sambil tersenyum ceria mengatakan, “Saya ingin memiliki toko baju”. Sedangkan impian Supianto dari Indonesia adalah membuka toko jus buah, Ahtang dari Thailand berharap setelah ia pulang ke kampong halaman, bisa membeli tanah dan membangun rumah…., di Taiwan masih banyak Buruh Migran Asia Tenggara yang memiliki impian seperti mereka, berharap pada suatu hari, setelah simpanan uangnya cukup, pulang ke tanah air, berwirausaha dan mengelola toko kecil.
Impian mereka ini terdengar oleh Chen Kai-xiang dan Wu Zhi-ning, muda-mudi yang baru berusia 20-an itu. Pada akhir tahun 2014, Chen Kai-xiang, mahasiswa lulusan Fakultas Manajemen, Universitas Negeri Cheng Chi, memutuskan untuk mendirikan LSM One-Forty, membangun sekolah bisnis bagi kaum migran, dan Wu Zhi-ning yang juga memiliki latar belakang pendidikan bisnis jurusan Manajemen Bisnis di Universitas Nasional Taiwan turut bergabung bersamanya, membantu mewujudkan impian para migran.
Mengenal Dunia Internasional Melalui Teman Buruh Migran
Sebelum rencana ini dimulai, kedua muda-mudi ini tidak memiliki banyak pengetahuan tentang Asia Tenggara. Setelah bergabung dalam One-Forty, Wu Zhi-ning baru berkesempatan mengenal kebudayaan Asia Tenggara; Sedangkan Chen Kaixiang, waktu kecil memang pernah diajak berwisata ke Asia Tenggara oleh orang tuanya, setelah lulus kuliah, ia sempat jalan-jalan sendiri ke Filipina, selain itu tidak ada lagi.
Selama perjalanan wisata ke Filipina inilah, Chen Kai-xing merasakan kehanggatan saat berada di negeri orang. Perasaan terharu ini dibawanya pulang ke Taiwan, selama beberapa kurun waktu masih tetap menjalin hubungan persahabatan melalui internet, namun seiring dengan kesibukan seharihari, hubungan mereka terputus. Chen Kai-xiang yang gemar berwisata, setelah terjun dalam dunia kerja, tidak bisa lagi sesuka hati berwisata ke luar negeri, seperti masa sekolah, “Berhubung sudah tidak bisa keluar negeri, maka untuk mengenal dunia internasional, berhubungan dengan Asia Tenggara, apa tidak lebih baik berteman dengan Buruh Migran yang ada di samping kita”, demikian tuturnya.
Musim panas di tahun 2014, Chen Kai-xiang berinisiatif menghubungi pendiri “Masa Cemerlang” Chang Ceng, Asosiasi Tenaga Kerja Internasional Taiwan (Taiwan International Workers’ Association – TIWA) dan beberapa LSM yang telah lama bergelut dengan isu Asia Tenggara, selain itu turut menjadi sukarelawan dalam Penghargaan Sastra Pekerja Imigran Pertama, membantu acara televise untuk TKA “Menyanyi Empat Arah – Singing in Taiwan”, dan membantu persiapan pendirian Perpustakaan “Masa Cemerlang”.
Chen Kai-xiang, yang semula hanya membantu dari samping saja, kemudian bersedia menjadi guru Mandarin di TIWA, berdiri di jajaran terdepan berhadapan langsung dengan para migran, sehingga ia semakin memahami dan mengerti lebih dalam. Guna memberikan dorongan agar mereka berani menyampaikan pendapatnya, Chen Kai-xiang meminta para siswanya untuk mengungkapkan impian dalam hati mereka, dan akhirnya didapati, kebanyakan harapan dari mereka adalah ingin membuka toko di kampung halaman, ini membuatnya terkejut, Chen Kai-xiang khawatir, apabila mereka yang tidak memiliki pengalaman, lalu dengan
gegabah berwirausaha, sekali usahanya gagal dan bangkrut, maka sebagian besar uang tabungan yang dikumpulkan akan habis begitu saja.
Dari pada hanya menjadi guru bahasa Mandarin, kata hati Chen Kai-xiang , dirinya yang berlatar belakang pendidikan bisnis itu tentu akan lebih bisa memberikan kontribusi kemampuannya, dari sinilah ide mendirikan “Sekolah Bisnis Buruh Migran” itu muncul.
Setelah mengambil keputusan ini, setiap hari libur Chen Kaixiang mendatangi Stasiun Taipei, tempat dimana para migran berkumpul, mulailah ia mencari kesempatan berbincangbincang dengan mereka. Pada awalnya ia mengira ini adalah hal yang mudah, tetapi baru memulai sudah langsung ketemu batunya. Dalam kehidupan sehari-hari para migran, selain dengan majikan dan teman dekat, jarang ada orang Taiwan yang berinisiatif mengajak mereka berbicara, oleh karena itu saat Chen Kai-xing dengan ramah menyapa mereka, maksud baiknya malah dicurigai hendak melakukan penipuan.
Gagal mencari murid dengan cara itu, Chen Kai-xing hanya bisa beralih mencari murid melalui siswa-siswa di kelas belajar Mandarinnya, juga melalui informasi yang disampaikan dari teman ke teman sesama migran, selain itu juga menggunakan TIWA dan Perpustakaan Masa Cemerlang sebagai tempat untuk promosi. Kabar ada orang yang bersedia memberikan pelajaran gratis bagi migran, hanya waktu singkat segera tersebar di komunitas migran, mereka berebutan untuk mendapatkan informasi terkait.
Namun, Sekolah Bisnis Buruh migran tidak dapat begitu saja menerima siswa. Guna memaksimalkan manfaat dari sumber yang terbatas, Chen Kai-xing menetapkan beberapa persyaratan, seperti : dapat berbicara bahasa Mandarin yang sederhana, dalam kurun waktu 1 tahun akan kembali pulang ke tanah air dan memiliki rencana wirausaha. Kelas perdana berjalan selama 2 bulan lebih, ada 8-10 kali pertemuan dengan jumlah 15 siswa dari Thailand dan Indonesia, bahkan mendapat dukungan sukarelawan di bidang finansial dan kesenian.
Pelajaran Pertama Belajar Berwirausaha
Pertemuan pertama pelajaran wirausaha yang dirancang One-Forty, tidak langsung memasuki pelajaran yang serius, Wu Zhi-ning yang pernah bekerja di situs “Womany”, yang terampil dalam perencanaan kegiatan, merancang satu pelajaran “Peta kehidupan”, lewat permainan yang menyenangkan dan santai itu, mendorong para siswa untuk merencanakan setiap momen penting dalam kehidupannya.
Sekolah Bisnis Buruh Migran terfokus pada kursus manajemen operasional. Chen Kai-siang, Wu Zhi-ning dan tenaga sukarelawan semua turut terjun langsung, teman dan adik kelas pun diajak ikut mengajar di kelas.
Agar para siswa memahami modal yang dibutuhkan untuk mengelola toko, konsep keuangan, salah satu mata pelajaran Sekolah Bisnis Buruh Migran diisi dengan permainan “Teori 5 amplop”, meminta siswanya memisahkan gaji tiap bulannya berdasarkan kepentingan dan dimasukkan dalam 5 buah amplop yang berbeda, melatih mereka mengalokasikan aset; Untuk siswa dengan kosakata Mandarinnya terbatas, Chen Kai-xiang dan Wu Zhi-ning secara khusus mengundang Studio “Wa’s UP” di Keelung, mempraktekkan jual beli, mengelola toko dan pemahaman lainnya yang dikonseptualisasikan dalam permainan monopoli, dirancang dengan situasi yang berbeda untuk membantu pemahaman siswa.
Kelas Sekolah Bisnis Buruh Migran periode pertama berakhir pada bulan September tahun lalu, sebagian target perencanaan belum terimplementasikan, berdasarkan rencana awal, Chen Kai-xiang ingin mengundang pengusaha toko kecil Taiwan untuk mengajarkan tips mengelola toko atau mengajak siswanya kunjungan lapangan, tetapi karena keterbatasan tenaga dan waktu, belum dapat terlaksana. Harapan untuk bisa membantu menambah pengetahuan manajemen wirausaha siswanya juga menghadapi kendala keterbatasan berbahasa Mandarin, ditambah dengan mereka belum pulang ke tanah air untuk berwirausaha, sehingga belum bisa merasakan praktek kerja langsung.
Kesulitan dalam mengajar yang lainnya adalah karena ia sendiri tidak memahami situasi di tempat bersangkutan. Vivi dari Indonesia yang usianya lebih tua, adalah segelintir siswa yang memiliki pengalaman berwirausaha, di Indonesia Vivi sempat mengelola Toko Online, berhubung ingin mengumpulkan biaya pendidikan anak, maka Vivi kembali lagi ke Taiwan. Lewat cerita pengalamannya, Chen Kaixiang baru mendengar dan mengetahui berbagai situasi unik yang ada.
Chen Kai-xiang menyampaikan, situasi tidak bisa bayar hutang sudah jarang ditemui dalam masyarakat Taiwan yang makmur ini, tetapi karena kebanyakan migran berasal dari desa, seringkali tidak berdaya menghadapi pembeli yang tidak bisa membayar hutangnya; juga karena sudah saling kenal, hubungan yang akrab, usaha yang baik malah menjadi gosip….., Chen Kai-xiang mengakui, berbagai fenomena lokal yang ada, untuk sementara ini masih menjadi masalah sulit yang belum dapat terselesaikan.
Pelajaran praktek bisnis masih harus diuji dengan waktu, beberapa kali pertemuan kelas telah merubah pola pikir siswa. Wu Zhi-ning menyampaikan, kehidupan sehari-hari kaum migran yang kurang hiburan, kebanyakan waktu libur mereka digunakan untuk bertemu dengan teman. Buruh Migran yang temannya sedikit memiliki kesamaan sifat yaitu pemalu dan kurang percaya diri.
Diakhir program pelajaran, Sekolah Bisnis Buruh Migran mengadakan acara pameran hasil pendidikan, tampak keceriaan yang biasanya jarang terlihat. Seperti Yunny yang cerdas menurut teman-temannya, memiliki wawasan yang luas, ia yang pendiam setiap pelajaran dalam kesempatan itu mulai menceritakan dirinya.
Di hari berlangsungnya kegiatan itu, Yunny mewakili teman lainnya naik ke atas panggung, ia membuka diri dengan menceritakan kisah hidupnya, sejak usia 10 tahun lebih telah meninggalkan kampung halaman dan bekerja di Taiwan. Ia yang dulu merasa risi dengan pandangan orang lain, dalam kesempatan itu mengungkapkan perjalanan proses 4-5 kali ganti majikan, ini semua dibeberkan.
Wu Zhi-ning mengemukakan, meskipun hubungan mereka adalah guru dan murid, tetapi 15 anak muridnya yang berasal dari Indonesia, Vietnam dan Thailand lebih layak seperti gurunya. Ketika bergabung dalam Sekolah Bisnis Buruh Migran, Wu Zhi-ning yang baru saja meninggalkan pekerjaan sebelumnya, bimbang dengan masa depannya, perasaan galaunya terobati ketika mendengarkan kisah hidup semua murid yang ada.
Ada yang dari kecil sudah harus menghadapi dilema kehidupan, ada yang kehidupan keluarganya hancur, ada pula yang setelah dewasa baru mengetahui orang yang selama ini dianggap sebagai ayah, ternyata bukanlah ayah kandungnya… liku-liku kehidupan nyata seperti sinetron tidak pernah menumbangkan mereka.
Wu Zhi-ning sangat terinspirasdi dengan kisah hidup yang mereka ceritakan, semangat yang kuat menjalani kehidupan, membangkitkan kembali kenangan masa sekolah, dimana ia pernah memberitahukan untuk memberanikan diri menyongsong masa depan. Yang saat ini ia kerjakan juga sama, hanya saja sekarang dihadapannya berubah menjadi para Buruh Migran. “Mimpi tidak membedakan siapapun, semua orang memiliki hak untuk meraih kehidupan yang lebih baik” demikian yang ia lontarkan dengan penuh percaya diri.
Keberadaan Sekolah Bisnis Buruh Migran sangat jelas, beban yang dipikul kedua orang ini tidaklah ringan. Chen Kai-xiang mengatakan, pelajaran yang diajarkan berhubungan langsung dengan kehidupan muridnya setelah pulang ke tanah air, apabila memberikan saran yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, maka akan membuat mereka kehilangan tabungan yang telah dikumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun.
Untuk itu, Sekolah Bisnis Buruh Migran juga mengambil referensi dari negara lain dalam membantu kaum migran berwirausaha, seperti Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO) yang sudah terorganisir dengan baik dan matang, juga organisasi yang mahir dalam mengintegrasikan inovasi dengan kesejahteraan sosial yaitu Design for Change, semua menjadi acuan. Meskipun demikian, Chen Kai-xiang dengan jujur menyampaikan, untuk memberikan pelajaran gratis, semua biaya yang dikeluarkan adalah berasal dari kantong mereka sendiri. Dengan keterbatasan tenaga dan material, isi dan arah mata pelajaran masih terus dijajaki.
Mengenal Asia Tenggara Lewat Buruh Migran
Setelah serangkaian pelajaran dan kegiatan diselenggarakan pada tahun lalu (2015), tahun ini One-Forty merencanakan akan mengadakan perluasan, selain tetap mempertahankan pelajaran Sekolah Bisnis Buruh Migran dan disesuaikan dengan waktu libur Buruh Migran yang tidak tetap membuka pelajaran on-line, One-Forty juga meluncurkan 8~10 pertemuan Mata Pelajaran Kreatif yang diberi nama “Dari Migran untuk Migran”.
Didalam kelas ini para migran diminta mencari kesulitankesulitan yang dihadapi saat tinggal di Taiwan, seperti hidup bersama majikan, tidak mengerti petunjuk jalan dan berbagai masalah lainnya dapat disampaikan. Kemudian, seluruh berbagai ragam masalah ini akan dikumpulkan, lalu meminta para siswa mencari solusinya.
Chen Kai-xiang menjelaskan, kalau sebelumnya permasalahan dan situasi yang dihadapi kaum Buruh Migran hanya mendengar dari apa yang dikemukakan orang Taiwan, tapi lewat “Dari Migran Untuk Migran” mengembalikan peran utamanya kepada Buruh Migran itu sendiri, sehingga “Masalah dan solusi ditanggung sendiri”
Untuk mencari permasalahan sampai penyelesaiannya, Buruh Migran didorong untuk keluar dari komunitas sosial yang sudah mereka kenal untuk lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat Taiwan, selain mencari solusi juga dapat menolong diri mereka sendiri.
Untuk mata pelajaran tahun ajaran baru saat ini tengah giat dipersiapkan, namun kegiatan lainnya sudah mulai berjalan. Dari pengamatan Chen Kai-xiang, kebanyakan masalah yang dihadapi oleh para Buruh Migran di Taiwan adalah masalah dengan haknya seperti jam kerja yang terlalu panjang, tidak bebas pindah majikan, atau ketimpangan informasi sehingga hak mereka dirugikan, akibatnya Buruh Migran yang telah bekerja bertahuntahun di Taiwan-pun tetap tidak bisa membaur dengan masyarakat.
Chen Kai-xiang mengemukakan, saat ini jumlah Buruh Migran di seluruh Taiwan telah melampaui 600 ribu orang. 1 dari 40 orang yang di jalan adalah Migran Baru atau Buruh Migran dari Filipina, Indonesia, Vietnam dan Thailand. Diantara begitu banyaknya Buruh Migran, tidak sedikit dari antara mereka yang sudah bekerja beberapa tahun, tetapi teman Taiwan hanya 5~6 orang saja, ini suatu hal yang mengejutkan. Untuk itu One-Forty, selain menyelenggarakan Sekolah Bisnis Buruh Migran, juga secara khusus merancang kegiatan “Minggu Asia Tenggara”, “Pemandu Wisata Setempat”, agar mereka bisa mengenal satu sama lain.
Minggu Asia Tenggara yang diselenggarakan sekali sebulan, mengundang Migran Baru dan Buruh Migran untuk berbagi kisah dan kebudayaan negara asal, menyajikan makanan lezat khas masing-masing yang ditandai dengan bendera kecil Indonesia, Vietnam dan Filipina sambil ngobrol santai; sedangkan untuk kegiatan pemandu wisata setempat, para siswa yang belajar di Sekolah Bisnis Buruh Migran statusnya berubah menjadi pemandu wisata kota, membawa teman orang Taiwan menjelajahi Taipei, mendatangi pelosok kota yang bernuasa Asia Tenggara. Jalan Indonesia di belakang Stasiun Taipei, mengenal budaya Muslim yang masih asing, semuanya ini menjadi awal warga Taiwan masuk menelusuri dunia Asia Tenggara.
“Buruh Migran merupakan lahan terbaik untuk mengenal dunia”, demikianlah konsep yang disajikan dalam situs One-Forty . Untuk mengenal dan memasuki dunia internasional, bukan pada tempatnya, melainkan berada pada diri temanteman Asia Tenggara yang berasal dari Indonesia, Vietnam, Thailand yang ada di sekeliling kita.