
「舞蹈」成為李庭莉融入台灣社會的方式,也為她找到生活的新動力。李庭莉說如果她在峇里島結婚生子也可能像媽媽一樣少有跳舞的機會而「息舞」了,因為嫁到台灣,讓她在婚後仍能保有跳舞的興趣,能繼續跳舞的她現在很幸福。在台灣舞出天堂鳥的姿態,沈浸在最愛的舞蹈中,生命的舞者──李庭莉是那般的耀眼奪目,讓人移不開視線。
Juni 2015, National Palace Museum cabang Selatan yang menyimpan keragaman seni dan budaya Asia, merilis sebuah film promosi yang menyoroti keunikan penari tradisional dari berbagai wilayah di Asia. Dalam film tersebut, terlihat satu sosok cantik rupawan. Bagian atas tubuhnya, terbalut kain brokat berwarna emas gemerlap, dipadu dengan kamen merah dan selendang putih, meliuk menari dengan anggun dan indah. Sosok yang mewakili Indonesia adalah Lee Tingli, penari asal Bali.
Nama Indonesia Lee Ting-li adalah Ni Ketut Juni Artini. Nama Mandarin diberikan oleh suaminya, Lee Pei-qing, yang senada bunyinya dengan nama Indonesia, yakni “Artini”. Kata “Juni” dalam namanya, karena ia dilahirkan pada bulan 6. “Ketut” berarti urutan ke 4. Lee Ting-li adalah putri bungsu dari sebuah keluarga besar dengan 12 bersaudara.

Menikah ke Taiwan Demi Cinta
Lee Ting-li mengenal suaminya, Lee Pei-qing, yang kala itu adalah seorang pengusaha muda di Bali. Rumah tinggal Lee Pei-qing kebetulan bertetanggaan dengan Lee Ting-li, sehingga memudahkannya untuk mendekati Lee Ting-li. Meskipun Ting-li juga menaruh hati padanya, namun tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjalin hubungan dengan orang asing. Sebagai putri bungsu, keluarganya juga berkeberatan jika Artini pergi jauh untuk menikah dengannya. Hingga suatu ketika, di hari ulang tahun Ting-li, Lee Pei-qing menghadiahkan 99 tangkai bunga mawar, Ting-li akhirnya menganggukkan kepala dan menerimanya. Dua tahun berlalu, mereka pun bergandeng tangan memasuki pelaminan pernikahan. Rencana awal setelah menikah adalah menetap di Bali bersama anak-anaknya. Tetapi Lee Pei-qing adalah anak tunggal, orang tuanya mengharapkan anaknya dapat kembali pulang ke Taiwan. Ting-li tidak ingin menyusahkan suaminya dalam bersikap, sehingga ia pun memutuskan untuk memulai perjalanan hidup yang baru di Taiwan.
Sifat Ting-li yang riang dan senang bergaul, ditambah dengan daerah asalnya yakni Pulau Bali, yang merupakan objek wisata dunia, masalah berinteraksi dengan orang asing menjadi hal yang biasa baginya. Saat tiba di Taiwan, Ting-li baru berusia 23 tahun, karena kendala bahasa, budaya serta makanan yang berbeda rasa, membuat dirinya kesulitan dalam beradaptasi. Kala itu, jumlah migran baru di Taiwan sangat sedikit. Ting-li kerap dianggap sebagai Buruh Migran atau nikah palsu. Kata-kata yang menyakitkan terus membayangi hatinya, dan membuat Lee Ting-li enggan keluar dari rumah selama 13 tahun pertama. Hingga kini, ia tetap merasa sedih jika mengenang memori masa itu. Akhirnya dengan menari, Ting-li menemukan kembali kegembiraan dan kepercayaan diri, yang sekaligus menuntun Ting-li berbaur dengan masyarakat.
Kembali Menari, Kembalikan Percaya Diri
Dalam kehidupan masyarakat Pulau Bali, di setiap upacara ritual, pernikahan maupun ulang tahun, tidak akan ketinggalan penyuguhan tarian tradisional. Pada umumnya anak-anak kecil di Bali akan mulai belajar menari sejak usia 5 tahun. Ibu dari Lee Ting-li adalah seorang guru tari. Ting-li juga selalu teringat memori indah saat sang ibu bersenandung merdu, dan warga setempat menari bersama di bawah langit malam yang bertaburan bintang.
Namun setelah di Taiwan, Lee Ting-li terjerumus dengan kesibukan pekerjaan sehari-hari, sehingga lupa dengan kegemaran menarinya. Hingga suatu hari, seorang sahabat mengajaknya berkumpul bersama di Pusat Pelayanan Keluarga Migran Baru. Setelah bergabung dengan komunitas masyarakat Indonesia, Lee Ting-li, yang baru mulai mencoba menginjakkan kakinya keluar dari pintu rumah dan berbaur dengan masyarakat, merasakan bagaikan menemukan tempat berteduh. “Pusat Pelayanan Migran Baru Kaohsiung adalah rumah saya di Taiwan”, ujar Lee Ting-li.
Sahabat sesama perantauan dari Indonesia mengetahui Ting-li adalah seorang penari Bali yang profesional. Mereka.
Tarian Indah Sarat Makna
Dalam kelas, Lee Ting-li adalah guru yang disiplin, dengan memberlakukan standar tinggi dalam setiap liuk dan gerak tari kepada para murid. Tarian tradisional Bali adalah tarian yang diwariskan secara turun temurun, sehingga setiap tarian memiliki peraturannya sendiri dengan kostum yang tentu berbeda juga. Lee Ting-li mengajarkan setiap liuk dan gerak tari dengan seksama dan ketat, mulai dari pose berdiri, meliukkan tubuh laksana membentuk huruf “S”, hingga cara melirikkan mata. Ia berharap muridnya dapat membawakan tarian Bali dengan indah dan menakjubkan.
Menyesuaikan gerakan tubuh dengan irama musik menjadi kesulitan yang kerap dihadapi oleh para pemula. Setiap gerakan tari pasti ditentukan oleh irama musik. Namun dalam musik tradisional, ritme dan irama yang dipergunakan sering tidak jelas. Penari saat menggerakkan bagian kepala, mata, jari tangan, leher dan bagian kaki, harus disesuaikan dengan alunan irama yang berbeda, yang telah ditentukan untuk masing-masing bagian gerakan. Telinga Lee Ting-li sejak kecil telah terbiasa dengan irama musik yang ada. Seiring dengan bergulirnya irama musik, tubuh lenturnya juga segera mengingat setiap gerakan yang terlihat menyatu dengan alunan musik. Tetapi bagi para pemula, liuk dan gerak tari kerap tidak menyatu dengan hentakan musik yang ada. Untuk dapat mencapai keberhasilan, hanya dengan cara terus berlatih dan berlatih, membiasakan diri dengan irama musik yang ada, hingga gerakan tari dapat menyatu dengan tubuh.
Lee Ting-li juga mengeluarkan modal yang besar untuk kostum tarinya. Mayoritas busana untuk tarian Bali mengunakan warna merah sebagai warna dasar. Untuk pakaian bagian atas dihiasi dengan aksesoris berwarna emas. Selain itu masih terdapat mahkota, kalung, gelang dan perlengkapan lainnya. Karena setiap tarian memiliki busana yang berbeda, ditambah dengan jumlah penari yang tidak sedikit, turut mempertinggi modal biaya pembuatan kostum. Agar para penari dapat menyuguhkan tarian lengkap dengan kostum yang menarik, Ting-li tidak segan-segan terbang pulang ke Bali, untuk membeli busana dan perlengkapan tari di pasar tradisional Ubud, Bali. Ini memperlihatkan kesungguhan hati Lee Ting-li dalam mempromosikan budaya Bali.
Lee Ting-li berharap, masyarakat dapat lebih mengenal budaya tari Bali, seperti “Tari Legong”, yang menonjolkan keanggunan seorang perempuan, juga merupakan pondasi dasar dari tarian Bali. Tarian lainnya adalah pengembangan gerakan yang terdapat dalam tari Legong. Dalam kebudayaan tradisional, Tari Legong dalam keraton menyaratkan penampilan dilakukan oleh gadis perawan yang belum mencapai masa menstruasi. Sehubungan dengan perubahan struktur kebijakan pemerintah dan perkembangan pariwisata, maka batasan tersebut kini telah dihapuskan. Hal ini juga menarik perhatian banyak orang untuk dapat mempelahari tarian yang memiliki gerakan yang anggun nan indah. Lee Ting-li berharap, masyarakat Taiwan dapat mengenal dan mengerti kebudayaan Bali lebih mendalam. Untuk dapat menikmati pesona suguhan tarian tradisional Bali yang memikat hati manusia, harus menggunakan mata dan hati.
Warisan Seni Tarian
Tarian Lee Ting-li mempopulerkan namanya, hingga diliput oleh berbagai media Taiwan. Salah satunya adalah Public Television Service Taiwan, yang mengambil liputan keluarga Lee Ting-li langsung di Pulau Dewata Bali. Tarian ibu dan anak akhirnya dapat ditampilkan kembali. Saat pandangan mata beradu, tak hanya bermakna curahan isi hati mereka semata, namun telah turut menghanyutkan hati para pemirsa yang menyaksikannya. Lee Ting-li mengungkapkan pengalaman tersebut membuatnya sedih sekaligus rasa gembira. Karena ibunya telah mendekati usia 90 tahun, kesempatan menari bersama ibu kala itu juga berkemungkinan menjadi yang terakhir kali. Hingga kini, Ting-li masih tetap merasa bersalah jika teringat sang ibu berharap agar putrinya tidak menikah dan pergi ke Taiwan,.
Liuk dan gerak nan indah serta sosok yang dimiliki Lee Ting-li adalah hasil bimbingan sang ibu, termasuk menyelami kebahagiaan yang dirasakan saat menari. Di Taiwan, Ting-li menyalurkan kemahiran menari kepada putrinya, Lee Jia-ling, sejak duduk di bangku SMP. Ia diwarisi bakat menari dari ibunya, lirikan mata hingga gerakan tubuh mencapai standar yang fantastis. Jia-ling mengenang saat masih duduk di bangku SD, dirinya masih merasa malu dengan identitasnya.
Tetapi beranjak dewasa, ia sadari dalam separuh dirinya mengalir darah keturunan sang ibu yang berasal dari Bali. Beranjak dari hal ini, ia pun mencintai kebudayaan ibunya. Kini Jia-ling tengah melanjutkan pendidikan di Universitas I Shou, jurusan pariwisata. Selain aktif dalam organisasi tari di kampus, Jia-ling, gadis yang memiliki visi-misi matang, ingin mengkolaborasikan semua yang dipelajarinya dengan kemahiran menari sebagai persiapan terjun ke masyarakat di masa yang akan datang. Dengan paduan dan pembauran multikultural tersebut, akan dapat melahirkan generasi baru Taiwan yang unggul.
Selain sekolah, Jia-ling menggunakan sisa waktunya bersama ibu untuk tampil menari di berbagai tempat. Dalam pertunjukan tarian ibu dan anak, tak hanya terlihat Ting-li bagaikan seorang penari profesional semata, kebanggaan sang ibu bertambah dengan kebahagiaan saat putrinya mengakui keberadaan kebudayaannya sendiri.
Jiwa Sang Penari
“Menari” adalah cara Lee Ting-li untuk berbaur dengan masyarakat Taiwan, juga untuk mendapatkan semangat hidup baru. Lee Ting-li menyebutkan apabila ia menikah dan melahirkan anaknya di Bali, mungkin ia juga akan seperti ibunya. Kesempatan untuk tampil menari sedikit, bahkan akan “lenyap”. Setelah menikah ke Taiwan, Ting-li tetap melanjutkan hobi menarinya. Dengan terus menari, ia menikmati anugrah kebahagiaan dalam hidupnya.
Kerja keras dan keuletan membuat Lee Ting-li berhasil meraih penghargaan keluarga Migran Baru Teladan pada tahun 2014. Saat itu ibu dan anak dengan berbusana tradisional Bali, naik ke atas panggung dan menerima penghargaan yang langsung dianugrahkan oleh Presiden Ma Ying-jeou. Pengorbanan selama ini, kini telah menarik perhatian lebih banyak orang. Di Taiwan, Ting-li meliuk bagai burung Cendrawasih dengan indah, menyelami diri ke dalam tarian yang dicintainya. Jiwa sang penari, Lee Ting-li, dengan tebaran pesona yang memikat hati, membuat orang tak ingin beralih pandangan dari dirinya.