“Terima kasih Taiwan! Bagiku dapat datang ke Taiwan bagaikan menang
undian!”Demikian pesan yang ditulis dalam sosial media oleh sutradara Midi Z,
keturunan Taiwan yang dilahirkan di Myanmar, usai film terbarunya “The Road to
Mandalay” berhasil meraih memenangkan Penghargaan FEDEORA untuk kategori
Film Terbaik dalam ajang Festival Film Internasional Venesia.
Film berjudul “Ice Poison” yang sebelumnya sempat mewakili Taiwan untuk beradu
dalam ajang Penghargaan Oscar tahun 2015, kali ini Midi Z dengan film terbarunya
“The Road to Mandalay” mampu meraih prestasi gemilang dalam kancah film
internasional. Walau tidak berlatar belakang perfilman, saat berada di atas panggung
menerima hadiah, Midi Z tidak lupa mengucapkan terima kasih atas kebebasan untuk
berkarya yang diberikan oleh Taiwan, sehingga kreativitas dalam perfilman dapat
terus berkembang dan matang.
Banyak karya filmnya mengambil kisah tragedi kehidupan masyarakat Myanmar, dimana ini menjadi ikon khusus bagi dirinya.
Walau bukan jurusan perfilman, namun melihat bakatnya yang terpendam, dosen memberikan kesempatan bagi Midi Z untuk menggunakan film sebagai karya kelulusan. Berawal dari film “Paloma Blanca” yang diselesaikan 8 tahun silam, kini Midi Z tidak pernah berhenti mewakili Taiwan dalam ajang festival film internasional. Dan setiap tahunnya minimal 2 buah film pendek, film dokumenter dan 1 film berdurasi panjang. Semua ini dilakukan Midi Z guna terus melatih kemampuannya dalam membuat film.
Membuat Film Demi Hidup
“Awalnya saya mengikuti cara paling dasar dalam proses pembuatan film”, tutur Midi Z yang mengaku bahwa dirinya membuat film untuk mendapatkan pemasukan biaya hidup.
Saat masih kuliah, Midi Z telah mulai mengambil kerja paruh waktu dengan menerima proyek pembuatan film dokumenter pernikahan, kelulusan sekolah, yang ke semua proses pembuatan dikerjakannya sendiri. Saat memasuki semester 8, khawatir jika tidak dapat lulus kuliah maka akan dikembalikan ke kampung halamannya di Myanmar, Midi Z segera meminjam semua materi terkait pembuatan film di Perpustakaan Nasional dan sekolah untuk dipelajari. Saat kuliah di pasca sarjana, Midi Z lebih giat lagi dalam melakukan riset dan pembelajaran mengenai pembuatan film. Hampir semua waktu yang dimilikinya dihabiskan dalam studi film. Kala itu Midi Z masih belum menyadari betapa pentingnya proses pembelajaran, yang kini menjadi pondasi yang kokoh baginya dalam membuat film.
Dalam proses pembelajaran yang begitu sulit, dosen melihat adanya bakat yang tersimpan dalam diri Midi Z yang selalu tampak malu dan tidak percaya diri di hadapan umum.
“Saya tidak berani mengatakan jika itu adalah talenta. Jika berbicara mengenai membuat film yang sama, maka boleh saya bilang bahwa saya mampu lebih cepat, lebih leluasa dan lebih memiliki perasaan dalam film yang saya buat”, sebut Midi Z dengan logat Mandarin yang masih memiliki aksen Myanmar.
Karyanya “Paloma Blanca” ternyata mampu merebut perhatian di berbagai festival film kelas dunia, seperti di Korea Selatan, Australia, Denmark dan Perancis. Midi Z segera dilirik oleh banyak perusahaan periklanan dan mendapatkan ijin kerja agar dapat tetap tinggal di Taiwan. Kerja kerasnya selama satu tahun, mampu memberikan kesempatan bagi dirinya untuk membangun sebuah rumah bagi keluarganya di Myanmar. Untuk tetap dapat tinggal di Taiwan, ia melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya dan baru mulai serius memikirkan film yang akan dibuat selanjutnya.
Film Biaskan Kampung Halamannya
“Film yang sempat saya lihat berjumlah ribuan, dan saya belajar banyak mengenai teknik pembuatan film. Film yang selalu membuat saya terpana biasanya berhubungan dengan latar belakang kehidupan saya sendiri, sehingga hal ini juga membuat saya merasa tergerak untuk menggunakan cerita pribadi agar dapat menyentuh hati khalayak umum.”
Midi Z menjelaskan bahwa film yang ingin dibuat bukan tentang Myanmar, namun menggunakan kisahnya untuk bercerita kepada para penonton.
Karena kisah yang dimiliki oleh Midi Z tentang kehidupan di Taiwan tentu tidak akan sama seperti yang lainnya.
Midi Z adalah keturunan suku Nanjing, dilahirkan dan dibesarkan di Kota Lashio, sebelah Timur Laut Myanmar yang berbatasan dengan Daratan Tiongkok. Selama usia mudanya hingga 16 tahun, ia hidup dalam lingkungan keluarga yang miskin dan terbelakang. Kuasa dan kekayaan menentukan status kehidupan dirinya, sehingga selalu terbersit untuk dapat melarikan diri dari situasi demikian.
Pada tahun 1998, keluarganya menggunakan jatah biaya hidup satu bulan hanya untuk dapat membeli formulir pendaftaran sekolah di Taiwan. Dari 6.000 peserta, Midi Z berhasil lolos seleksi masuk ke dalam 50 besar calon pelajar ke Taiwan. Keluarganya memberikan uang saku US$ 200 dan sepotong jas untuk berangkat melanjutkan pendidikan di Taiwan.
Demi mendapatkan biaya hidup sekaligus mengirimkan uang untuk keluarga di kampung, Midi Z memulai kehidupan sebagai pelajar sembari magang bekerja di hari ke 2 setelah tiba di Taiwan.
Dukungan Senior Kuatkan Imannya
Selama 10 tahun merantau di Taiwan, Midi Z tidak pernah pulang ke Myanmar. Hal ini juga membuatnya tergerak untuk dapat menceritakan keadaan kampung halamannya saat memiliki kesempatan kembali ke rumah pada tahun 2008. Dengan bermodalkan kamera, ia merekam semua kondisi masa kecilnya di Myanmar, dan karyanya berhasil mendapatkan penganugrahan dari Golden Horse Film Academy. Sutradara kawakan, Hou Hsiao-shien memberikan bantuan selaku produser filmnya yang berjudul “Huashin Incident”, dan merekrut Midi Z sebagai anak didiknya.
“Hou Hsiao-hsien sempat memberitahukan bahwa tanpa dana juga dapat membuat sebuah film. Ia juga memiliki pengalaman serupa, selain membimbing ia juga menyemangati saya agar berani untuk membuat film sendiri”, kenang Midi Z, yang mengutarakan bahwa banyak senior di Taiwan yang senantiasa memberikan dukungan kepada para juniornya.
Midi Z mengambil contoh sutradara ternama Ang Lee yang rela menghadiri pemutaran film “Ice Poison”, satu-satunya film berbahasa Mandarin, dalam Tribeca Film Festival yang digelar di saat musim dingin menyelimuti kota New York. Ang Lee bahkan memberikan pujian kepada Midi Z yang mampu menyelesaikan sebuah film yang penuh dengan emosi dan alur cerita yang dinamis, walau dengan kondisi peralatan dan sumber daya yang tidak mendukung. Ang Lee berbagi cerita tentang perbedaan melakukan syuting film sendirian atau dengan bermodalkan kru sebanyak 200 orang. Midi Z mengingat pesan staf ahli Ang Lee tentang keinginannya untuk tetap hadir dalam acara pemutaran film tersebut, sekalipun Ang Lee saat itu dipenuhi dengan berbagai jadwal kegiatan. Hal ini semakin membuat Midi Z merasa terharu dan semakin bersemangat dalam karir perfilmannya.
Pada tahun 2010, Midi Z dengan bermodalkan 3 lembar tiket dan 2 kru film, terbang ke Myanmar untuk mengambil syuting film “Return to Burma”, yang bercerita tentang kehidupan masyarakat setempat. Film tersebut berhasil masuk dalam nominasi sutradara baru terbaik di Busan International Film Festival dan berhasil meraih Penghargaan Tiger Award dalam International Film Festival Rotterdam. Midi Z juga turut diberkahi dengan mendapatkan kewarganegaraan Republik Tiongkok (ROC) tepat sebelum ia menghadiri kegiatan festival tersebut.
Filmnya yang ke dua berjudul “Poor Folk”, bahkan sempat mendapatkan bantuan dana pembuatan film dari International Film Festival Rotterdam’s Hubert Bals Fund pada tahun 2012. Selanjutnya Midi Z mengajak 7 kru film terbang ke daerah perbatasan Myanmar dan Daratan Tiongkok selama 10 hari, guna mengambil syuting untuk film “Ice Poison”, dimana film ini berhasil diputar dalam Berlin International Film Festival, mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Edinburgh International Film Festival dan sutradara terbaik untuk Edinburgh International Film Festival di Swedia dan Taipei Film Festival di Taiwan. Film tersebut juga mendapat kesempatan untuk ikut serta bersanding dalam perebutan film berbahasa asing terbaik dalam Piala Oscar ke 87 pada tahun 2015. Walau tidak berhasil memenangkan piala tersebut, namun nama Midi Z juga telah mampu masuk dalam panggung film internasional.
Dengan hanya bermodalkan 10.000 dolar Amerika Serikat, Midi Z turun langsung merangkap peran sebagai penulis, sutradara, cameramen dan produser untuk film “Ice Poison”, sekaligus menyelesaikan 2 buah film dokumenter berjudul “Jane Miners” dan “City of Jade”. Film dokumenter tersebut bercerita tentang pekerja tambang yang meninggalkan keluarganya selama 20 tahun demi masa depan. Midi Z menceritakan bahwa semua film yang dibuat sebelumnya selalu bercerita tentang kondisi kehidupannya, keluarganya dan kerabatnya, yang sangat bermakna baginya. “Menurut saya, tanpa membuat film tersebut terlebih dahulu, tampaknya saya tidak mampu membuat yang lainnya. Bahkan untuk film ‘The Road to Mandalay’ adalah film tentang kakak saya yang berusia 12 tahun lebih tua. Semua alur cerita tentang dirinya dan impian masyarakat Asia Tenggara tentang Taiwan”, jelas Midi Z.
Membuat Karya Film yang Lebih Besar
Gaya film yang dibuat oleh Midi Z memiliki ketertarikan tersendiri, dimana menyorot sikap hidup sebagian manusia yang mencoba berontak melepaskan diri dari kemiskinan, keinginan untuk menjadi kaya, keputus-asaan keluarga dan realitas kehidupan manusia, berhasil merebut perhatian masyarakat dunia.
Baginya film adalah sebuah kreativitas yang tidak disertai dengan pesan politik maupun kritik sosial. Menurutnya ia tidak berhak untuk bersuara tentang kemiskinan yang dihadapi oleh Myanmar, dan kondisi juga tidak akan segera berubah sekalipun telah ia ceritakan. Semua filmnya hanya merupakan sebagian pandangan subjektifnya tentang realita kehidupan. Midi Z mengatakan, “Saya tidak memiliki perasaan untuk membalas dendam dalam pembuatan film, tidak memiliki batasan dalam hal sumber daya, tidak ada target penonton, hanya saja saya merasa nyaman dengan apa yang saya lakukan, dimana ini juga merupakan bagian dari sikap seorang seniman dalam menyalurkan aspirasi seninya.”
Dari sudut pandang yang berbeda, melalui film inilah kita dapat mengenal siapa Midi Z.
Film “The Road to Mandalay” merupakan hasil kolaborasi pendanaan berjumlah 40 juta dolar Taiwan yang dihimpun dari Perancis, Jerman dan Myanmar, karena film tersebut menceritakan tentang isu kehidupan para pengungsi ekonomi. Film ini memiliki kru kerja sebanyak 200 orang, yang merupakan film pertama Midi Z berskala besar. Sikap Midi Z yang tidak pernah mengkhawatirkan masalah pendanaan, terlebih di saat kondisi perfilman dalam negeri berada dalam situasi keterpurukan, sehingga menyulitkan para insan film untuk mendapatkan bantuan dana. Namun Midi Z berhasil merubah cara pendanaan nasional menjadi internasional, sehingga semakin menguatkan langkahnya dalam gelanggang dunia.
Saat Midi Z mulai menulis naskah film “The Road to Mandalay” 5 tahun silam, ia yang bukan berlatar belakang perfilman, kurang percaya diri, namun dengan sepenuh kerendahan hati ia menjalani proses pembuatan film. Semua proposal program pembuatan film diusung ke dunia, selain untuk mendapatkan dukungan dana, juga sekaligus menguji cara pandang dunia terhadap rencana pembuatan filmnya.
Skenario film “The Road to Mandalay” diusung sebanyak 12 kali di berbagai kesempatan di dunia, dan berhasil mempertemukan dirinya dengan para dewan juri serta berkesempatan untuk mengajukannya ke perindustrian film kreatif internasional. Midi Z juga kembali merangkap peran sebagai produser film untuk mencari dana pembuatan. Ia belajar untuk “Menjual Dirinya” saat mempromosikan rencan film tersebut. Dengan penuh harapan dan percaya diri bahwa selama menjalankannya dengan niat besar dan rasional, maka suatu saat pasti akan berhasil. Dengan penghargaan yang telah diraihnya, dirinya semakin percaya untuk terus meniti jalur hidupnya dalam dunia perfilman.
Film Bukan Mimpi Namun Realitas
Midi Z yang kini berusia 33 tahun, sempat berkunjung ke 40 negara di dunia, mengikuti ratusan festival film, bahkan ada beberapa negara yang mensponsori khusus baginya untuk menggelar pameran karya filmnya. Walau demikian, Midi Z tidak berlaku congkak, dimana ia tetap menjalani kehidupan layaknya manusia biasa tanpa harus berpakaian mewah. Dalam kehidupan kesehariannya, Midi Z kerap masak sendiri, membuat proposal program dan membaca naskah. Usai wawancara untuk Taiwan Panorama, keesokan harinya Midi Z dijadwalkan untuk terbang menuju Venesia untuk mengikuti pemutaran perdana film “The Road to Mandalay” di sana. Sekalipun tidak terlampau fasih berbahasa Inggris, namun Midi Z tidak lupa untuk selalu membawa alat penerjemah, ini juga menjadi cerminan bahwa film bagi dirinya bukanlah sebuah mimpi, namun kebiasaan sehari-hari manusia.
“Saya jarang menyebut film sebagai sebuah mimpi, karena itu bukan kenyataan. Bagi saya film adalah sebuah realitas dengan dipenuhi oleh beragam program rencana, mewujudkannya secara perlahan dan harus semakin baik lagi”, tutur Midi Z yang selalu mengingatkan diri sendiri untuk siap sedia jika suatu ketika harus kembali membuat film sendirian. Lingkungan bebas yang diberikan oleh Taiwan baginya merupakan sebuah sumber inspirasi. Sementara industri perfilman Taiwan juga semakin beragam dengan masuknya Midi Z ke dalamnya. Ia percaya bahwa selama konsisten dalam membuat film, maka tidak akan ada batasan yang dapat menghalanginya. Dengan kesungguhan hati dalam proses pembuatan, pasti akan memberikan hasil yang gemilang.