
一路南向,來到國境之南的恆春半島,這裡是中央山脈餘脈的終點。狹長的平原與丘陵、台地相間錯落,裙帶般的珊瑚礁海岸為太平洋、巴士海峽、台灣海峽所環抱,每年9月至翌年3月,強勁的東北季風(當地俗稱「落山風」)吹拂,多樣性生物與堅苦卓絕的人們在此共謀生存,誕生出別具一格的文化景觀。
Datang ke Semenanjung Hengchun di ujung Selatan Taiwan, kita tiba di bagian akhir Pegunungan Sentral, suatu dataran panjang dan sempit penuh dengan perbukitan, dataran tinggi, dan disusuri sederetan batu karang yang membagi daratan dari perairan Samudera Pasifik, Terusan Bashi dan Selat Taiwan di sekelilingnya. Angin Monsun kencang dari Timur Laut menyebabkan cuaca menjadi panas dan kering di bulan September hingga Maret. Di sinilah beragam flora fauna dan masyarakat yang rajin bekerja keras hidup bersama, melahirkan lanskap kebudayaan yang unik.
Selain jalan utama yang ramai di Kenting dan sekitar Kota Hengchun, mayoritas turis yang datang berkunjung di Semenanjung Hengchun tidak tahu jika terdapat berbagai komunitas ekologi berukuran kecil dan besar, memperkaya kehidupan rakyat yang sederhana, yang tersebar di Sheding, Longshui, Lide, Gangkou, Yungching dan Houwan.
Danau Longluantan di Komunitas Longshui selain merupakan tempat istirahat bagi unggas air, juga sumber irigasi utama bagi “Beras Langjiao,” produk beras organik terkenal di sini; Komunitas Gangkou di Kota Manzhou berhadapan dengan Samudera Pasifik di timur, selain tempat yang kaya akan ekologi kepiting tanah, lereng bukit di daerah ketinggian rendah juga tanah subur bagi pembudidayaan teh, maka memiliki budaya pertanian dan perikanan yang unik; Sedangkan Komunitas Lide di daerah luas di selatan dari Sungai Gangkou adalah tempat istirahat sementara bagi puluhan ribu ekor burung elang buzzard bermuka abu-abu yang terbang dari Siberia, Tiongkok utara dan Jepang menuju Filipina untuk melewati musim dingin pada bulan Oktober.
Berbagai sumber daya lokal yang unik ini telah membangun fondasi bagi pengembangan ekowisata, juga merupakan harta karun bagi kreativitas budaya serta pendidikan lingkungan.
Komunitas adalah “Database” yang Kaya
“Saya dulu adalah pemburu elang, sekarang adalah pelindung elang.” Demikian kata ketua Asosiasi Perkembangan Komunitas Lide Song Ren-zong. Di belakang pernyataan tersebut tersembunyi satu perjalanan hidup berliku yang penuh dengan kesangsian. Ketika Taman Nasional Kenting baru selesai dibangun pada 1982, kehidupan masyarakat Semenanjung Hengchun, yang seluruhnya dikategorikan masuk dalam kawasan taman, berubah drastis karena mereka tidak lagi diizinkan berburu dan memetik secara bebas seperti masa lalu. Perubahan yang mengakibatkan banyak ketidakmudahan ini bahkan sering menimbulkan ketegangan antara hubungan warga dengan pejabat pemerintah lokal.
Situasi ini mulai berubah pada 2006 ketika pihak administrasi taman mengundang profesor Chen Mei-hui dari Departemen Kehutanan di Universitas Nasional Sains dan Teknologi Pingtung (NPUST) untuk mempromosikan kerja sama dengan rakyat setempat. Dimulai dari Komunitas Sheding, mereka mencoba menemukan satu cara yang selain bisa menjaga kehidupan rakyat sekaligus melanjutkan konservasi lingkungan dalam waktu yang bersamaan. Setelah melalui upaya belasan tahun, ekowisata berbasis komunitas telah mengakar dan berkembang di Hengchun.
Perubahan drastis dalam bersikap seperti yang terjadi pada Song Ren-zong, juga terlihat terjadi pada banyak warga setempat. Di Komunitas Lide, misalnya, migrasi burung pemangsa pada musim gugur setiap tahun bukan hanya sumber protein tambahan bagi warga yang bermukim di daerah pegunungan tersebut, namun juga bisa dijadikan spesimen pengawetan yang dijual, sehingga mampu mendapatkan penghasilan yang lumayan. Pembunuhan puluhan ribu ekor burung setiap tahun membuat Lide dicap sebagai “Kuburan burung elang,” tapi pengetahuan dan pengamatan saat menjadi pemburu di masa lampau, telah membuat banyak warga seperti Song dengan sukses berubah profesi menjadi pemandu wisata yang memiliki banyak cerita menarik untuk dinikmati.
Saat masih kuliah di NPUST sepuluh tahun lalu, pendiri Lishan Eco Company Miles Lin sudah mulai mendampingi Chen Mei-hui untuk terjun ke masyarakat. Lin mengatakan, “Kami berusaha mengubah konsep warga lokal, memberitahu mereka bahwa keuntungan dari sumber ekologi tidak semestinya diperoleh melalui perburuan, melainkan melalui kebutuhan layanan yang muncul dari upaya konservasi, misalnya pariwisata, akomodasi dan katering.” Sementara itu, Cai Wanrong yang juga bekerja di Lishan Eco mengetengahkan, “Komunitas itu sendiri adalah database yang kaya. Semua ini adalah bagian dari kehidupan rakyat. Yang harus dilakukan adalah pemilihan, pengonkritan dan pengepakan.”
Melalui bimbingan yang diberikan, tidak hanya menguntungan pengunjung semata, namun para warga setempat juga kembali mengenal keindahan kampung halaman mereka, dan lahirlah rasa solidaritas. Sebagaimana apa yang dikatakan Kepala Desa Gangkou Yang Xiulan, “Hanya setelah Profesor Chen dan pihak administrasi taman datang ke sini, kami baru sadar akan betapa banyaknya harta di komunitas kita sendiri.” Menurut statistik dari pakar kepiting Dr. Liu Hung-chang, ada lebih dari 30 jenis kepiting darat di Gangkou. Selain itu, komunitas di tepi laut ini memproduksi berbagai jenis ikan kering seperti ikan terbang dan mahi-mahi, juga menghasilkan kacang kedelai hitam Manzhou dan teh yang ditanam di ladang dengan ketinggian paling rendah di Taiwan, sementara Taman Beringin Putih menjadi situs wisatawan yang semakin populer setelah digunakan oleh sutradara Ang Lee sebagai salah satu lokasi syuting untuk film “Life of Pi.”
Semua ini membuat Yang Xiulan tersenyum sambil berkata, “Kami di Gangkou sungguh-sungguh meraih banyak keuntungan dari posisi geografisnya.” Bisnis kepiting darat, teh dan kacang kedelai hitam tidak hanya menghasilkan keuntungan sebanyak NT$ 2 juta tahun lalu, juga telah membuat warga setempat semakin mencintai kampung halaman sendiri.
Mengintroduksi Sumber dari Luar, Membangun Sinergi Lebih Kuat
Dengan mulai berkembangnya ekowisata, pekerjaan juga dimulai dalam bidang mensurvei keanekaragaman hayati, melatih warga menjadi pemandu wisata ekologi dan membagi mereka menjadi beberapa kelompok; dan dengan berawalnya operasi, setiap komunitas diberi kuasa untuk secara bebas mengurusi kelompok masing-masing.
Berdasarkan fondasi ekowisata yang berkembang di komunitas-komunitas tersebut, Lishan Eco mulai bereksperimen dengan program-program yang lebih beragam dan terpadu, dan mengintroduksi berbagai sumber dalam bidang berlainan serta berbagai tim dari luar untuk membangun sinergi lebih kuat dan meningkatkan penghasilan warga, karena jalan konservasi yang ditempuh setiap komunitas hanya bisa lebih panjang melalui cara ini.
Pada masa awal, ekowisata lebih menitikberatkan pengamatan flora dan fauna natural serta lanskapnya daripada elemen kebudayaan manusia. Pada 2015, di bawah bimbingan administrasi taman nasional dan Lishan Eco, program residensi seniman mulai diadopsi untuk setiap komunitas. Para seniman diundang untuk hidup bersama dan berinteraksi dengan warga lokal sepanjang sebulan, dan dalam proses ini menyumbang kembali melalui karya kreatif yang diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi pariwisata komunitas.
Di Lide, misalnya, saat memasuki kebun sayur komunal, kita akan menemukan kreasi “Penerjemah Angin” karya seniman residen Chen Jinhui menggunakan sampah lautan seperti pelampung dan busa styrofoam. Pada saat Angin Monsun Timur Laut mulai bertiup kencang, karya tersebut akan melukiskan pola tak teratur di atas tanah pasir yang menarik sekali untuk disimak.
Tapi berbicara tentang Chen Jinhui, apa yang paling dihargai warga bukan karya seni ini, melainkan perannya sebagai katalisator bagi terbentuknya suatu Band Komunitas Lide. Mayoritas penduduk Lide adalah warga aborigin yang memang selalu suka menyanyi dan menari. Chen sendiri, sementara itu, cukup mahir dalam memainkan drum Afrika. Dalam suatu kegiatan pembersihan pantai, Chen secara iseng-iseng menyanyi sambil mengiringi diri sendiri dengan ketukan barang yang dipungut. Setelah itu, dia mentransformasi banyak sampah laut menjadi alat musik perkusi, mengajarkannya pada masyarakat, dan lahirlah band musik perkusi yang khusus memainkan aransemen Chen untuk melodi kuno suku Amis.
Sekarang, ketika berkunjung di Lide, kemungkinan besar kita akan mendengar “Lagu Lide” yang dinyanyikan oleh warga lokal, sebuah melodi yang kedengaran sangat kuno tapi penuh kegairahan hidup, didampingi instrumen musik yang didaur-ulang dari sampah.
Mutualisme Manusia dan Alam,
Fondasi Ilmu Ekonomi Hijau
Tidak hanya demikian. Komunitas Lide telah mengkoordinasikan sumber ekologinya dengan pendidikan lingkungan, melatih enam guru spesialis untuk menangani pendidikan lingkungan di lembaga pemerintah dan empat sekolah lokal di Kota Manzhou. Tahun ini, mereka bahkan memperoleh penghargaan Hadiah Pendidikan Lingkungan Nasional.
Lide bukan satu-satunya kasus penggabungan antara sumber ekologi dan pendidikan. Tahun ini, Lishan Eco dikomisi oleh Pemerintah Kabupaten Pingtung untuk mengorganisir suatu lomba film pendek pengamatan ekologi khusus buat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, mengajak para murid dan guru untuk mengamati dan memfilmkan cerita ekologi.
Selain itu, komunitas lokal juga bekerja sama dengan Yayasan Pendidikan Chen Wu-xian. Didirikan oleh Wu Pao-chun, seorang pembuat roti terkenal yang dibesarkan di pedesaan Pingtung, yayasan tersebut menggunakan sumber ekologi setempat untuk menggelar kamp musim panas bagi pelajar SD, bertekad menyumbang kembali pada masyarakat melalui pendidikan dengan cara hiburan.
Sebagaimana diungkapkan Miles Lin, “Kami harap bisa memberikan masyarakat visi yang berlainan, agar mereka sadar akan berbagai cara yang bisa dipakai untuk mengembangkan komunitas.” Dalam isu metode operasi, ada hubungan antara kehidupan kreatif dan kultural, pendidikan dan pariwisata. Dalam isu targetnya, berkisar dari pengunjung dari luar, warga Pingtung dan pelajar lokal. Dan dalam upaya mengupgrade dari ekowisata ke tingkat ekonomi hijau yang lebih luas, yang tetap harus dijaga adalah keutuhan ekologi dan lingkungan. Di tengah-tengah harta karun hijau yang kaya ini, sumber alam dan inspirasi tak akan habis terpakai, asalkan kita bersedia memberlakukannya dengan baik.