Pada bulan April lalu diadakan pemberian gelar kebangsawanan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah kepada cendekiawan musik Taiwan, Ted Tsai. Pemberian gelar kehormatan ini mempresentasikan kontribusi Ted Tsai kepada Taiwan dan menjembatani pertukaran budaya Taiwan-Indonesia.
Ted Tsai adalah warga Taiwan pertama yang mempelajari musik dan budaya Indonesia, mengeluti musik religi Islam hingga seniman Tionghua di Indonesia, semuanya menjadi bidang yang ditekuninya. Tidak banyak cendekiawan Taiwan yang menetap lama untuk mempelajari budaya Indonesia. Sejak tahun 2000, dia memanfaatkan waktu liburan musim dingin dan panas untuk berangkat ke 3 kota yakni Yogyakarta, Solo dan Semarang.
Takdir bersama
Keraton Surakarta Hadiningrat
Takdir Ted Tsai dengan Keraton Surakarta Hadiningrat bermula dari asistennya, Tejo Bagus Sunaryo adalah seorang pangeran Keraton Surakarta sekaligus Direktur divisi kebudayaan Kasunanan Surakarta. Untuk penelitian jangka panjang membutuhkan asisten yang menguasai bahasa lokal, berkat rekomendasi dari temannya memperkenalkan asisten yang berbakat dan lincah. Melihat kemampuan asistennya bahkan Ted Tsai memberinya rujukan untuk melanjutkan studi di Tainan National University of Arts (TNNUA).
Adanya kesempatan ini membuat Ted Tsai merasa beruntung dapat memasuki Keraton Surakarta Hadiningrat untuk memperoleh informasi dokumen-dokumen yang sangat bernilai. Saat bersamaan dia menyelami penelitian musik Indonesia, selain itu juga mendapat pengakuan dan mendapat gelar Kanjeng Aryo oleh Susuhunan Pakubuwono XIII.
Ted Tsai mengatakan, "Keraton Surakarta Hadiningrat setiap tahunnya menyeleksi warga negara asing (WNA) yang telah bersumbangsih pada budaya dan pendidikan Indonesia, maka diberikan gelar kebangsawanan. Namun kesempatan pemberian gelar kehormatan kepada WNA tidaklah banyak, sebagian menerima gelar KA (Kanjeng Aryo). Namun Ted Tsai kali ini memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumunggung (KRT). Kanjeng dalam bahasa Jawa berarti pangeran, Raden menunjuk ikatan darah dan Tumenggung adalah Kepala Daerah. Berdasarkan pemahaman Tsai, Keraton menganggap dirinya sebagai ayah angkat Tejo Bagus Sunaryo. Meskipun keduanya tidak memiliki hubungan darah, namun kedekatannya melebihi warga asing lainnya. Oleh karenanya dia diberi gelar KRT dan menjadi orang Taiwan pertama yang mendapat gelar kehormatan ini.
Pilihan Jalan Sendiri
Ekspedisi mempelajari musik Asia Tengah di Xinjiang hingga musik religi Indonesia lalu memutar haluan mengenal para peseni perantau Tionghua di Indonesia, bidang penelitian yang ditekuni Ted Tsai berbeda kalangan akademi seni Taiwan. Tutur kata Ted Tsai yang halus nan lembut namun tidak sebanding dengan karakternya yang tegas. “Saya lakukan apa yang tidak diinginkan orang lain, tidak ada yang bersedia melakukannya, dengan demikian, mereka yang ingin bersaing dengannya akan jauh tertinggal," tutur Ted Tsai.
Saat duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan, Ted Tsai bergabung dengan unit kegiatan musik tradisional, lalu dirinya masih memilih belajar alat musik yang tidak populer yaitu alat musik suona. Kemudian melanjutkan studinya ke jurusan musik tradisional di Private Chinese Culture University (PCCU). Ted Tsai tidak bisa berdiam diri, saat kuliah masih mengambil kredit di jurusan jurnalistik, filsafat juga ekonomi kesejahteraan keluarga dan menyadari dirinya menyukai untuk meneliti berbagai gagasan teori dan mulai mendalami bidang musik. Usai lulus kuliah, dia melanjutkan studi etnomusikologi di Universitas Maryland, Amerika dan disertasi strata masternya meneliti opera Taiwan, sementara tesis untuk jenjang Doktor, Ted Tsai awalnya ingin mengambil topik “Perjalanan suona dari Asia Barat ke Tiongkok” guna menjelajahi sejarah pertukaran budaya musik Asia Tengah dan Tiongkok akan tetapi ditolak oleh sang profesor pembimbing, lalu mengubah tesisnya dengan topik penelitian musik Asia Tengah, Xinjiang maka berlanjut dengan mendalami musik religi Islam.
Ilmu musik tradisional menyandang penting peran musik dalam suatu budaya. Ted Tsai mengatakan, meneliti musik Islam terlebih dahulu harus mengerti pandangan dan sikap Islam terhadap musik. Bagi sebagian penganut ajaran garis keras menginterprestasikan musik adalah godaan luar yang membuat umatnya jauh dari Allah. Sebagian ulama agama malah beranggapan bahwa Islam tidak memiliki musik Islami, hanya penekanan itonasi nada pada pelafalan bahasanya.
Saat mendalami musik Islami harus mengerti sejarah, filosofi dan aliran yang berbeda-beda, maka dari itu Ted Tsai pernah mempelajari bahasa Arab, Perancis, Rusia, Jepang dan Uygur, jika dibandingkan dengan para ulama pembawa agama Islam dapat dikatakan Ted Tsai lebih memahami sumber dan doktrin agama Islam.
Perjalanan penelitiannya pada musik Indonesia dimulai pada tahun 2000 mendapat undangan dari Micheal Hsiao Hsin-huang dan Tsai Yuan-lin dari Akademi Sinica. Arus utama pada musik Indonesia berorientasi pada kelompok budaya Gong dan Gong sebagai instrumen musik utama, pembawaan musik dengan metode perkusi dengan sebutan "Gamelan" merupakan musik tradisional yang paling representatif.
Dari gamelan dapat diketahui pemikiran filosofinya. Instrumen musik ini tidak dapat dimainkan oleh satu orang saja dan biasanya hampir seluruh masyarakat desa ikut bermain alat musik ini. Kelompok musik ini tak memiliki dirigen dan hanya bergantung pada kecepatan dan irama dari pemain perkusi. Setiap alat musik mempunyai tugasnya masing-masing. Ada yang bertugas sebagai pengiring melodi, pengontrol ketukan dan bahkan ada yang bertugas penghias nada. Jika ada satu dua kesalahan, maka akan ditutupi oleh rekan lainnya, tata cara ini menunjukkan budaya yang menjunjung semangat gotong royong.
Selain meneliti musik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, dia juga menemukan adanya sumbangsih seniman perantau Tionghua dalam seni budaya Indonesia. Diantaranya perantau Tionghua pembatik terkemuka di Indonesia bernama Go Tik-swan. Seniman terkemuka, tidak ada seorangpun warga Indonesia yang tidak mengenal Didik Nini Thowok, kehebatannya dalam menampilkan seni tarian transgender. Radyo Harsono, seorang dalang wayang kulit ternama yang mencetus pertunjukan wayang Tionghua yaitu Wacinwa dan mendapat gelar maestro seni dari Presiden Republik Indonesia. Ted Tsai ikut peduli dengan kesuksesan seniman perantau Tionghua di Indonesia, agar masyarakat Tionghua di sana tidak dibatasi dengan hal-hal kinerja perekonomian saja, maka Ted Tsai memproduksi film dokumenter berjudul “Taxiang Shi Guxiang” (Tanah Rantau Adalah Kampung Halamannya) merekam situasi dan kontribusi para seniman perantau Tionghua di Indonesia berkarya dalam seni budaya.
Kesenangan dalam Pekerjaan
Selama pendidikan di Strata Doktor, Ted Tsai melakukan penelitian jangka panjang di Xinjiang, Uzbekistan dan Kazakhstan, kemudian berlanjut hingga mendalami musik Indonesia. Di usianya setengah abad, Ted Tsai tak dapat melupakan pengalamannya saat survei di lapangan, bahkan stamina tubuhnya mulai melemah dan nasihat dokterpun tidak digubris. Ted Tsai mengatakan sambil tertawa, “Hidup hanya sekali, sebelum hidup ini tiada harus segera berpetualang di luar sana."
Jarang menemukan ada yang membawa pelajar melakukan survei di lapangan hingga ke luar negeri, Ted Tsai bersama muridnya memiliki banyak pengalaman yang unik. Saat melakukan penelitian bersama Ted Tsai, salah seorang mahasiswa strata 2, Huang Chuan-ling mengungkapkan, melihat pengalaman rekannya kesurupan, meminta dukun untuk menyembuhkan, ada kejadian gunung berapi meletus, semula rekan-rekan mengira turun salju, ternyata gunung berapi meletus dan hampir saja terjebak di pulau Jawa, di tengah malam berburu tiket kereta api, akhirnya menempuh waktu belasan jam meninggalkan Yogyakarta.
Seorang fotografer profesional, Tsai Bing-chun bersama Ted Tsai berangkat ke Singkawang, Kalimantan Barat untuk mengikuti tradisi Chap Go Meh. Berdasarkan tradisi setempat, dukun penduduk asli, penyihir dan tatung yang disajikan oleh kuil-kuil masyarakat etnis Tionghua, mereka berkumpul di kuil Bo Gong (Dewa Bumi) setempat untuk ritual bwa bwei (perolehan jawaban dari Dewa) dan pemberian penghormatan. Tsai Bing-chun menjelaskan saat ritual berlangsung, dia merasakan kekuatan roh menebus di tengah-tengah ruang, dengan mata kepala sendiri menyaksikan roh dewa merasuk ke tubuh dukun (serupa dengan ritual tatung di Taiwan), hal ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan baginya.
Jembatan Penghubung Taiwan-Indonesia
Senantiasa memanfaatkan waktu liburan musim dingin dan musim panas melakukan riset penelitian, Ted Tsai mengutarakan selama 18 tahun lamanya tidak sempat merayakan hari raya imlek di Taiwan.
Dia menyebut kepribadiannya terlalu "suka berpetualang mencari kesenangan", banyak hal unik di dunia ini yang menarik perhatiannya untuk dikunjungi. Ted Tsai mengatakan, "Meskipun penelitian lapangan sungguh melelahkan, namun “Saya anggap penelitian sebagai hiburan, dengan demikian baru bisa merasa senang dan berkelanjutan".
Di laman facebooknya, Ted Tsai membagikan pertunjukan musik yang unik di berbagai negara, mungkin sulit untuk dipahami apa yang dinyanyikan, namun melalui musik maka dapat merasakan vitalitas masyarakat yang tak akan pernah berhenti, membuat Ted Tsai menuturkan inilah keindahan musik dunia. “Hidup harus spektakuler. Saya berharap kelak tua nanti, dapat membagikan pengalaman spektakuler ini pada cucu saya”, ujar Tsai.
Mendapat pengukuhan langsung dari Susuhunan Pakubuwono XIII, membuatnya ditempatkan dalam keanggotaan Kasunanan Surakarta dan dapat ikut dalam kegiatan kebudayaan Keraton. Meski pada tahun 1965 dan 1998 pernah terjadi kerusuhan, namun kebudayaan Tionghua sangat dekat dengan perkembangan di Indonesia di berbagai tempat. Taiwan dan Indonesia masih memiliki banyak kesempatan kerjasama dalam kebudayaan dan pendidikan. Ted Tsai beranggapan ini merupakan waktu yang sangat tepat. “Saya bersedia menjadi jembatan penghubung budaya antara Taiwan dan Indonesia”, tutur Ted Tsai.