Prosesi Dewi Mazu Kedua
Sehari sesudah prosesi dan Dewi Mazu Baishatun sudah kembali ke kuil, tibalah saatnya bagi Dewi Mazu kedua berkeliling desa yaitu melakukan prosesi akbar yang lain di Baishatun, Dewi Mazu bermuka hitam dari Kuil Gongtian dan patung Dewi Mazu pinggir gunung yang sudah menyertai Mazu Baishatun berprosesi, serta dewa-dewa lainnya, mereka berarak-arakan melintasi daerah pegunungan, menelusuri jalan-jalan kecil di daerah pedesaan Baishatun, tujuannya adalah menyebarkan rezeki kesejahteraan yang diberikan oleh Dewi Mazu besar kepada seluruh warga. Dan inilah makna dari keseluruhan prosesi.
Setelah bertahun-tahun berpartisipasi dalam prosesi Dewi Mazu kedua berkeliling desa, Chen Yi-hong mendapatkan seorang sahabat yang tidak diketahui namanya, ia menyebutnya sebagai nenek kampung Neidao. Pada 2015 dalam suatu kesempatan yang kebetulan sekali, Chen Yi-hong mendapati nenek berpakaian rapi sedang berdiri di depan rumah tradisionalnya menyambut Dewi Mazu kedua, lalu dijepret oleh kameranya. Selama 5 tahun berturut-turut, setiap kali Dewi Mazu kedua berkeliling desa, Chen Yi-hong pasti memotret nenek kampung Neidao juga. Pada 2020, seperti biasa Chen Yi-hong mendatangi rumah yang sudah sangat ia kenal itu, tetapi tidak melihat kehadiran sang nenek, dalam hati muncul firasat tidak baik. Dari cerita tetangga, nenek telah berpulang sepekan sebelum acara prosesi. Kepergian nenek membuatnya sangat sedih dan menyadari bahwa kehidupan ini penuh dengan ketidakpastian. Meskipun sang nenek sudah tiada, ia tetap ke depan rumah nenek, tahun lalu, tahun ini, tahun depan pun ia akan mendatanginya terus, asalkan ia menghadiri prosesi Mazu kedua berkeliling desa, ia akan terus ke sana seperti dulu bersama-sama sang nenek menantikan kedatangan Dewi Mazu. Chen Yi-hong dengan tegas mengatakan inilah janji pertemuan setahun sekali dengan sang nenek.
Kodrat Suatu Kepercayaan
Chen Yi-hong mendapatkan julukan “halilintar” dari kalangan fotografer karena gerakannya yang gesit dan cepat, pernah suatu kali ketika sedang memotret acara prosesi Dewi Mazu kedua keliling desa, sekujur pahanya kejang, ia hanya bisa berbaring di tempat menunggu rasa sakit mereda, dalam keadaan tak berdaya ia melihat arakan mulai menjauh, tanpa terasa ia mengeluh kepada Dewi Mazu. Tidak lama kemudian, ia melihat arakan tandu Dewa Pangeran III bersiap untuk balik ke kuil, sedangkan di sebuah gang sebelah kiri ada seorang nenek duduk di kursi roda, secara naluri ia bergegas menghampiri sang nenek. Dan sungguh luar biasa, tandu yang semula berjalan lurus ke depan, tiba-tiba oleng ke arah nenek dan memberikan berkat kepadanya. Gambar momen sang nenek berdialog dengan Dewa Pangeran III, telah masuk dalam bidikan kamera Chen Yi-hong yang saat itu sudah berlinangan air mata haru.
“Kalau bukan kaki kejang, saya sama sekali tidak mungkin menjepret momen itu.” Chen Yi-hong seketika mendapatkan pencerahan bahwa kepercayaan masyarakat yang paling orisinal bukanlah dewa duduk di altar menanti disyukuri, melainkan kepercayaan ini meresap dalam kehidupan warga, hidup berdampingan turut merasakan suka duka warga, ketika dibutuhkan, dewa sudah berdiri di samping, Chen Yi-hong beranggapan itulah sebabnya mengapa masyarakat begitu mempercayai dan menghormati para dewa dan keyakinan ini tak tergoyahkan. Apakah buku “Chao Sheng Taiwan-Beribadah Suci di Taiwan” akan ada buku lanjutannya, Chen Yi-hong berniat untuk membuat sebuah buku berjudul “Ruo Ji Ruo Li-Jarak”. Berbeda dengan buku “Chao Sheng Taiwan” yang merekam karya selama 30 tahun, kali ini ia ingin berkunjung ke pulau-pulau lepas Taiwan, seperti Penghu, Kinmen, Matsu, Xiao Liuqiu, karena kepercayaan warga setempat lebih kental orisinalitasnya, yang membuatnya terpukau.
Dan bagi Chen Yi-hong terbitnya buku Chao Sheng Taiwan bukanlah akhir peliputannya terhadap upacara ritual, melainkan sudah titik awal.