Memori tua Taichung
Data statistik tercatat sebanyak 80 ribu buruh migran yang tinggal di Taichung, menempati urutan ke 3 tertinggi di Taiwan sebagai kawasan berpopulasi buruh migran terbanyak. Stasiun kereta api Taichung dan kawasan “First Square” (Termasuk Herbal Medicine Street) menjadi lokasi tempat berkumpulnya para buruh migran di hari libur.
Lokasi First Square sebelumnya adalah “Pasar Eceran Negeri Kota Taichung”, yang dibangun tahun 1908. Tahun 1978 dilakukan rekonstruksi menjadi gedung rekreasi First Square yang memadukan tempat tinggal dan pusat perbelanjaan. First Square yang lengkap dengan ragam produk trendi, department store, menjadi lokasi favorit anak muda. Namun saat Restoran Wellcome ‘dijilat api’ pada tahun 1955, masyarakat mulai sadar pentingnya uji kelayakan pengamanan bencana. First Square yang tidak lolos uji, mengimbas drastis turunnya jumlah pengunjung dan menjadi terlantar.
Ragam toko dan usaha yang berhubungan dengan Asia Tenggara mulai memasuki First Square sejak tahun 2000, yang kemudian berkembang menjadi lokasi favorit untuk belanja atau berkumpul bagi buruh migran, khususnya di hari libur. Wajar jika “1095” juga menjadikannya sebagai tempat penting penelitian kebudayaan Asia Tenggara.
1095 hari
Dari mana asal mula angka 1095? Taiwan meloloskan Undang-Undang Ketenagakerjaan pada tahun 1992, yang mengijinkan perekrutan buruh migran untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di Taiwan, dengan masa kontrak 3 tahun per periode, yang sama dengan 1095 hari.
“1095” beranggotakan Annie Guan dan Yanjie Jiang. Keduanya dilahirkan di era 90 an, sehingga masa pertumbuhan mereka seiring dengan masuknya komunitas buruh migran Asia Tenggara ke Taiwan. “Di sekeliling kita banyak teman asal Asia Tenggara, namun prasangka dan pikiran stereotip masyarakat, menghilangkan kesempatan untuk mengenal mereka lebih lanjut”, kata Yanjie Jiang.
Annie Guan, mahasiswi pascasarjana Departemen Konservasi Warisan Kebudayaan Universitas Nasional Teknologi Yunlin, adalah pelopor “1095”. Saat menjalani program praktek pendidikan di Jerman, Annie terinspirasi untuk mencatat kehidupan para buruh dan meneliti kisah di balik hubungan manusia dengan ruang. Sepulangnya ke Taiwan, bersama adik-adik kelas segera melakukan studi riset lapangan yang menghabiskan waktu hampir 9 bulan, dan meluncurkan “1095, Kisah Buruh Migran Taichung”.
Yanjie Jiang, mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Nasional Chung Hsing, memiliki perasaan yang lebih dekat dengan Asia Tenggara, karena ibunya berasal dari Thailand yang berketurunan Tionghwa. Ia aktif di organisasi media kampus, peduli isu ketenagakerjaan. Setelah mengenal tim kerja Annie Guan, Yanjie Jiang segera menyingsingkan lengan baju, ikut bergabung dengan “1095”. Bakat yang dimiliki disalurkan untuk pengeditan bahan publikasi, film dan pelatihan sukarelawan. “Tak kenal maka tak sayang, adalah sesuatu yang masuk akal. Yang penting adalah mau belajar dan menerima”, tegasnya.
Bersama ciptakan kehidupan yang gemilang
Sejak Oktober tahun lalu, tim “1095” memindahkan lokasi pameran ke First Square. Setiap akhir pekan, Annie Gao terlihat membawa koper berisi penuh dengan buku bacaan ke First Square, untuk dapat langsung berhadapan dengan para buruh migran Asia Tenggara dan membangun ‘jembatan persahabatan’.
Walau yang khusus membaca atau meminjam buku tidak banyak, namun setiap akhir pekan, “1095” dapat bersama dengan teman-teman asal Asia Tenggara berada di ruang yang sama, menikmati pemandangan yang sama, melamun bersama dan mengenal lebih banyak sahabat. Ruang tersebut bagaikan rimba persilatan, karena setiap individual memiliki kisah cerita berbeda. Justto asal Indonesia, sepulang dari kerja suka menulis, bahkan sempat menerbitkan karyanya sendiri. Dodo, gemar membahas masalah dunia internasional dan ingin mengenalkan deskripsi tentang Taichung dari sudut pandangnya. Ada juga seorang imigran baru asal Vietnam yang suka membagikan sepanci bubur di akhir pekan untuk para tunawisma.
Yanjie Jiang mengenal Asia Tenggara melalui jalur kuliner. Menurutnya tidak mudah merubah pola pikir stereotip dengan himbauan rasional. Ia mengambil contoh boleh melalui kulineria dan mencicipi makanan di berbagai restoran yang ada. Yanjie Jiang yang bertubuh gempal, kini dijuluki “JJ Lin Indonesia”oleh toko dan restoran setempat.
Annie Gao dan Yanjie Jiang menggunakan cara yang berbeda untuk membangun jembatan penghubung kebudayaan Asia Tenggara. Karena jarak dengan mereka yang begitu dekat, telah menarik perhatian, kepedulian dan rasa ingin tahu yang lebih banyak tentang Asia Tenggara, sehingga dapat bersama membangun kehidupan yang gemilang.
Berpetualang di Piramid
Bagi yang ingin tahu lebih banyak, dapat bergabung dengan “1095”. Yang ‘terlaris’ saat ini adalah “Berpetualang di Piramid”. Bagi generasi yang lebih tua pasti mengetahui jika sebelumnya ada bangunan atap menyerupai piramid yang terbuat dari kaca, sebagai pintu masuk menuju ruangan di bawah tanahnya. Tetapi karena dikategorikan berbahaya, maka telah ditiadakan, dan penyebutan piramid sendiri malah berasal dari teman-teman buruh migran.
Awalnya hanya teman-teman sendiri yang meminta Yanjie Jiang sebagai pemandu ke First Square. Namun kini jumlah permintaan meningkat, dan “1095”menyajikan program dengan negara yang berbeda. Selain memandu, juga menambahkan permainan interaksi, mengundang pelajar asing atau imigran baru untuk langsung mengenalkan kebudayaan negara mereka sendiri.
Berjalan bersama Yanjie Jiang ke First Square, semakin dapat memahami petikan kalimat yang diambil dari artis Jolin Tsai: Kita berbeda, kita semua sama. Di koridor jalanan, terlihat sekelompok buruh migran yang tengah menikmati makanan, ngobrol atau belanja. Selain gerai makanan, juga ada salon, toko kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari hingga bahan makanan segar, semuanya berfungsi untuk mengatasi kerinduan akan kampung halaman sendiri.
“1095” menawarkan sistim pertukaran dalam memandu perjalanan, guna dapat melakukan interaksi dan pertukaran tentang Taiwan. Karena bahasa merupakan kendala yang terbesar, maka “1095” juga telah membuka kelas bahasa Mandarin bagi mereka yang berminat. Jia Li Hong, mahasiswi jurusan manajemen Universitas Nasional Chung Hsing, bertanggung jawab untuk program pelajaran yang disediakan bagi para buruh migran, sehingga mempercepat proses pembauran dengan masyarakat Taiwan.
Program berkesinambungan
Februari 2016, “1095” berhasil menemukan lokasi untuk dijadikan sebagai markas mereka, yakni di kawasan Herbal Medicine Street, kota Taichung. Selanjutnya akan dikembangkan menjadi organisasi nirlaba atau bisa juga untuk perusahaan. Yang telah berjalan saat ini adalah program pengumpulan buku, penggunaan QR code untuk mencatat kisah si penyumbang buku dan menjadi media interaksi dengan si peminjam buku bahkan dengan teman-teman asal Asia Tenggara. Program lainnya berupa perekrutan pelajar magang, menyediakan ruang nuansa Asia Tenggara yang nyaman dan bersahabat, pembentukan program internet kreatif sehingga diharapkan dapat merubah pola pikir yang stereotip. Ke depannya juga akan membuka kelas fotografi, kelas bahasa negara asal imigran baru, kelas tata boga dan sebagainya. .