Lautan Tak Mengenal Batasan
Album “Small Island Big Song” yang dirilis pada tahun 2018, tidak saja masuk dalam nominasi untuk “Album Konsep Terbaik” dalam Penghargaan Musik Independen 2019 di Amerika Serikat, tetapi juga memenangkan Penghargaan Kritikus Rekor Jerman untuk “Album of the Year”, menjadikannya satu-satunya pemenang dari Benua Asia. Mereka kemudian melakukan konser tur ke lebih dari 50 pertunjukan di 16 negara di empat benua, menarik penonton yang berjumlah lebih dari 170.000 orang.
Lagu penutup pertunjukan “Uyas Gerakun” menghadirkan penampilan harpa mulut tradisional suku Truku yang disebut sebagai rubug qawqaw. Melodi utama dimainkan oleh Pi Teyru Ukah, seorang penyanyi dan pemburu Truku, diiringi lapisan warna nada harpa mulut serupa dari Sarawak dan Papua Nugini, serta ritme tarian bela diri Haka dari Maori dan nyanyian tari Kecak dari Bali. Di tengah kombinasi elemen musik ini, meski hanya bersuara tipis namun bagaikan tetesan air di lautan, rubug qawqaw menambahkan nuansa khas pada alunan musik yang bergelora.
BaoBao mengatakan, saat bekerja di Australia pada usia 22 tahun dan masih berusaha menjelajahi diri sendiri, ia mulai mencari impian tentang apa yang bisa dilakukan bagi Taiwan. Melalui proyek “Small Island Big Song”, ia menemukan sebuah jalan impian yang jelas, “Semakin besar gambar lingkaran maka akan semakin besar ruang untuk menampung lebih banyak orang.”
Proyek “Small Island Big Song” tidak hanya menghubungkan pulau-pulau Austronesia, juga menjadi bukti bahwa masyarakat Austronesia bermigrasi dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. BaoBao mencontohkan, ada sebuah alat musik rakyat bagaikan harpa berbentuk tabung yang terbuat dari bambu atau kayu di Madagaskar yang dikenal sebagai valiha, yang dapat dimainkan oleh semua penduduk setempat. Musisi Tarika Sammy mengatakan kepadanya bahwa ketika nenek moyang mereka pertama tiba di Madagaskar, valiha masih tidak bersenar, setelah mulai ada sepeda, orang-orang baru menggunakan kabel rem sebagai senar logam. Ketika mengunjungi Sarawak di Malaysia, musisi Alena Murang memperkenalkan pagong yang biasa dimainkan neneknya dengan pemetik yang terbuat dari bambu. Saat itu, mereka baru menyadari bahwa pagong adalah bentuk asli dari valiha. Ada juga instrumen identik di Filipina dan Indonesia, sedangkan di Taiwan ada catatan sejarah tentang instrumen semacam itu tapi sekarang tidak ditemukan lagi.
Pada masa konser tur keliling Eropa tahun 2018 dan 2019, “Small Island Big Song” dipentaskan di antara pertunjukan skala besar kelompok musik rock, tapi saat pagong dan valiha berduet, melodi yang dialunkan selalu mengharukan setiap penonton.
Kerabat di Seberang Lautan
Salah satu lagu di album “Small Island Big Song” adalah “Naka Wara Wara To’o”, dikarang dalam bahasa kuno oleh pemain seruling panci (pan flute) dari Kepulauan Solomon, Charles Maimarosia. Ia mengatakan bahwa mengambil bagian dalam proyek “Small Island Big Song” bagaikan menemukan kerabat di seberang lautan, dan lagu itu ditulis untuk keluarga besar ini.
Semasa konser tur, penyanyi dari negara yang berbeda menemukan, meskipun memiliki bahasa ibu masing-masing, ada kemiripan dalam pengucapan angka satu sampai sepuluh baik yang berasal dari Pulau Paskah atau suku Amis di Taiwan, dan para penyanyi bahkan memiliki bahasa tubuh yang serupa.
Taiwan bukan hanya sebagai bagian dari Asia, tapi juga sebagai bagian dari Austronesia. Dalam sebuah wawancara BaoBao mengatakan bahwa “Isu Indo-Pasifik” yang belakangan hangat dibicarakan di Amerika Serikat dan Australia sebenarnya merujuk pada wilayah Austronesia; sementara saat isu konflik dan ketegangan antara Taiwan dan Tiongkok kerap didiskusikan oleh masyarakat internasional, asalkan berpaling ke arah Samudra Pasifik, ikatan dan koneksi antara Taiwan dan Austronesia akan terlihat jelas, dan mendefinisikan kembali identitas Taiwan.
Mengubah Dunia dengan Musik
Proyek “Small Island Big Song” juga menyampaikan keprihatinan atas perubahan iklim. Sebagai contoh, lagu “Gasikara” yang dinyanyikan dan dimainkan secara kolektif dengan alat musik tradisional oleh musisi dari enam negara, melukiskan krisis lingkungan pesisir seperti pemutihan karang yang dihadapi di tanah air mereka. Tim Cole yang telah berkecimpung dalam dunia musik selama 30 tahun, ingin menggunakan cerita dan musik dalam lagu-lagu di album untuk bersuara atas nama lingkungan dan lautan. Itulah sebabnya Tim Cole memilih nama “Small Island Big Song” yang secara harfiah berarti “Pulau Kecil Lagu Besar”, dan menggunakan kata tunggal “island” (pulau) sebagai judul bahasa Inggris album untuk menunjukkan bahwa “Kita hanya memiliki satu Bumi.”
Ketika merekam alat musik bambu tradisional di Pulau Bougainville di lepas pantai Papua Nugini, BaoBao dan Tim Cole bertemu dengan seorang pengacara hak asasi manusia dari Australia yang sedang membantu warga lokal untuk membeli tanah. Perubahan iklim telah menimbulkan masalah salinisasi lahan dan sungai, membuat lahan semula tidak lagi dapat dipakai untuk bercocok tanam dan tidak ada air minum.
Selanjutnya, mulai akhir Januari 2022, tim “Small Island Big Song” akan melakukan konser tur keliling di Amerika Serikat dengan pertunjukan di berbagai tempat termasuk Broadway di New York dan University of Pennsylvania. Perhentian terakhir adalah di Pulau Procida di Teluk Napoli, Ibukota Kebudayaan Italia untuk tahun 2022. “Saat ini acara masih sedang disusun, tapi kami berharap dapat mementaskan pertunjukan terakhir di Taiwan,” tutur Baobao. “Bagaimanapun, Taiwan adalah titik awal budaya Austronesia, dan ini adalah musik yang Taiwan sumbangkan kepada dunia.”