Kebangkitan Hidangan Berbahan Beras
Perhatian Dimulai dari Sebutir Beras
Penulis‧Lynn Su Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Amina Tjandra
September 2025
Jumlah beras yang dikonsumsi orang Taiwan mencatat rekor rendah baru, semenjak tahun 1960-1970 an, setiap orang dengan mudah mengonsumsi 80-90 kilogram beras per tahun, akan tetapi saat ini angka tersebut turun hampir separuh, bahkan jumlah konsumsi beras dan gandum menunjukkan “death cross”.
Ditilik dari tren umum, konsumsi beras sedang mengalami penurunan, tetapi jika diamati dengan seksama, di dalam kehidupan bermasyarakat, dapat ditemui tidak sedikit petani padi, pengrajin makanan dari beras dan pelaku usaha makanan minuman, dari lokasi produksi sampai makanan terhidang di atas meja, mereka beraliansi dengan berbagai industri lain yang menjalani proses “dari makan kenyang sampai konsumsi cerdas”, dan perjalanan ini menuliskan lembaran menarik.
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Varietas Lokal, Berkembang di Mana-mana
Menelusuri kembali peristiwa pada tahun 2022, pada tahun tersebut, di tengah protes keras dari sebagian besar petani, Taiwan secara resmi bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), juga mempublikasikan impor beras terbuka. Seketika produksi beras dalam negeri mendapat hantaman baik dari dalam maupun luar negeri. Dari sisi dalam negeri, perubahan kebiasaan masyarakat Taiwan menyebabkan permintaan beras terus menurun. Pada sisi luar, mendapat hantaman keras dari beras luar negeri, akan tetapi, secara bersamaan, krisis berubah menjadi peluang, tidak sedikit petani yang berjiwa berani mulai berinvestasi dan meningkatkan kualitas produk pertanian mereka.
Melewati masa transformasi selama puluhan tahun, ditambah lagi dengan kebangkitan media sosial era internet, standar pemasaran produk mengalami penurunan, saluran pembelian produk semakin beragam. Selain pabrik beras produksi skala besar yang mampu memenuhi rantai distribusi dengan metode “pembelian langsung dengan petani”, hingga merek-merek kecil dengan penjualan online yang berkembang pesat; baik dari segi harga yang menjadi faktor pertimbangan utama dari konsumen, atau keinginan untuk mendukung konsep ramah lingkungan, dengan metode penanaman organik; terdapat berbagai macam pilihan, dan beras Taiwan telah berkembang pesat dan memasuki era persaingan.
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Perbedaan dalam Kesamaan Preferensi Taiwan-Jepang
Orang Taiwan selalu menyukai beras Jepang, akan tetapi jika dicermati, di tengah kesamaan preferensi terdapat perbedaan. Dilihat dari sejarah perkembangan produk pertanian, awalnya Taiwan memroduksi beras Zailai (Indica rice) yang berbentuk ramping dan pulen, sampai pada era penjajahan Jepang yang mendatangkan beras Japonica (beras penglai), pola makan orang Taiwan secara resmi berubah, selera Taiwan dan Jepang hampir mirip karena lebih menyukai nasi yang padat, kenyal, bercita rasa manis dan wangi.
Akan tetapi dapat dipertegas bahwa, orang Jepang menyukai makan nasi, menjunjung tinggi semangat konsistensi, mementingkan cita rasa yang murni, beras mentah harus bersih dan mengkilap, tidak berkapur, setelah ditanak menjadi nasi tetap bersih dan bebas dari aroma tak sedap, dengan demikian baru dapat menjadi pelengkap makanan Jepang yang lezat dan elegan. Orang Taiwan malah terbiasa dengan “makan nasi dengan lauk pelengkap”, terutama kebanyakan masakan ala Taiwan adalah dioseng atau ditumis, hanya dengan aroma nasi yang wangi, baru pas disantap bersama, kombinasi nasi dan lauk pauk yang tiada tandingannya, benar-benar luar biasa.
Dalam konteks ini, aroma beras Taiwan cukup beragam. Saat ini pasar beras secara garis besar dibagi menjadi dua jenis utama yaitu, beras umum yang beraroma daun pandan dan bunga melati, dan yang lainnya adalah beras wangi yang terkenal dengan aroma talasnya, masing-masing memiliki konsumennya sendiri di pasaran.
Selain itu, pasar Jepang didominasi oleh beras putih yang dipoles, dikarenakan Taiwan sangat menyoroti gizi kesehatan, selain beras merah (beras yang tidak dipoles) yang cukup populer, juga sering ditemui beras berwarna seperti beras hitam, beras ungu, dan angkak, ini menunjukkan karakteristik diversifikasi produk pertanian.
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Wu Liang-kuan seorang petani yang ingin mengendalikan setiap rantai siklus dengan baik, ia adalah produsen yang bekerja dengan profesional dan rendah hati.
Makelar Beras
Mari kita klarifikasikan preferensi dan standar kita, dilanjutkan dengan pertanyaan sebagai berikut, “makan apa?”, “bagaimana cara makannya?” Teknik budidaya padi Taiwan sangat unggul, baik swasta atau pusat pengembangan pertanian semuanya secara aktif ikut terlibat dalam pembudidayaan varietas baru, dengan prakiraan kasar setidaknya ada 200 varietas yang beredar pada sektor swasta, bagaimana konsumen dapat memilih berdasarkan preferensi pribadinya, memilih apa yang mereka sukai dan menghargai apa yang telah dipilih?
Meskipun hingga saat ini, pemerintah belum menetapkan mekanisme sertifikasi dari “dewan penguji” seperti penilaian daun teh yang profesional, akan tetapi banyak orang yang berdedikasi untuk mempromosikan beras Taiwan, mereka diam-diam bekerja keras dalam bidang cocok tanam, sebagai pekerja profesional dalam bidang ini. Mereka mencicipi berbagai varietas produksi dari berbagai lokasi, juga mewakili konsumen mengunjungi ke lokasi produksi, melakukan “pertukaran” dengan petani, mendalami kondisi cuaca, lahan dan teknik penanaman. Akhirnya, menyesuaikan sudut pandang dari para pakar dan memilih varietas yang cocok dengan konsumen, menjadi makelar beras yang menjembatani petani dengan konsumen.
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Merek beras Taiwan sangat banyak, dengan varietas, lokasi produksi yang berbeda, beras curah atau beras kemasan vakum, semuanya diproduksi untuk memenuhi permintaan konsumen.
Kerangka Sketsa Beras Taiwan
Masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, beras Vietnam produksi dari pabrik besar yang murah dicampur dengan beras Taiwan untuk diperjualbelikan, setelah terbongkar, kejadian ini memicu kegemparan opini publik, malah ada yang bersedia mengambil haluan yang berbalik arah, mencantumkan lokasi produksi secara terang-terangan, bekerja sama dengan petani atau bahkan dipublikasikan sebagai “produk varietas tunggal”.
Kami tiba di Kecamatan Xihu, Kabupaten Miaoli bertepatan dengan musim gugur dengan cuaca yang cerah dan menyegarkan, benih padi yang baru ditanam bulan lalu mulai bertunas di tengah sawah. “Hal yang ingin saya lakukan sangat sederhana yaitu, berharap agar semua orang mengetahui beras varietas apa yang mereka santap.” ujar perintis “Mao Rice”, Lin Mao-sheng yang berdiri di tengah-tengah ladang sawah yang hijau.
Dari penampilan Lin Mao-sheng terlihat seperti dari keluarga yang mapan, dan bisa memilih “beras” sebagai usaha kariernya karena ia mengalami tahapan perubahan karier beberapa tahun sebelumnya, berkat antusias dari kerabatnya yang merekomendasikan, ia mengenal keluarga petani Wu Liang-kuan. Sejak mengundurkan diri dari kantor pemerintahan daerah, Wu Liang-kuan kembali ke kampung halamannya untuk bercocok tanam. Dia memiliki karakter yang cerewet dan sangat teliti, mulai dari pembibitan, penanaman padi, panen, pengeringan, penggilingan padi hingga pengemasan, semua dilakukan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain, bahkan dia menginvestasikan sejumlah besar uang untuk membangun pabrik pengolahan di atas lahan yang seluas 8 hektar. Meskipun berupaya untuk menanam varietas kualitas unggulan, ia tetap bersikap rendah hati, beras produksinya dijual di kantor pos setempat, atau hanya dijual untuk kerabat dan teman dekatnya. Lin Mao-cheng menemukan beras berkualitas yang “belum pernah ada sebelumnya”, mencoba mempertaruhkan reputasi pribadinya untuk menciptakan merek dan mempromosikan produk berkualitas.
Produk Mao Rice yang sederhana memiliki 3 produk pendukung yang mewakili tiga varietas beras tunggal. Untuk mempertimbangkan keterbatasan pengetahuan konsumen akan varietas beras, maka secara khusus ia menghubungkan varietas dengan fungsi kegunaannya. “beras Tainong No. 77” yang padat, pulen, dan berkilau, setara dengan beras Jepang yang berkelas, dikenal dengan “beras Koshihikari”. Kandungan air dalam “beras Tainong No. 71” sangat tinggi, efek gelatinisasi sangat baik, sangat cocok bagi yang makan lunak dan tidak keras, sehingga disebut dengan “beras bubur”. Sedangkan beras “Tainongxian No.22” dengan kandungan amilosa tinggi, konsumen bisa merasakan butiran nasi dengan jelas, bertekstur kenyal dan pulen, sangat cocok diolah menjadi nasi goreng atau nasi sayur maka dikenal dengan nama “beras nasi goreng”.
Dilihat dari proses perkembangan budaya pangan, apa yang dilakukan oleh Lin Mao-sheng, tidak hanya sekedar bisnis jual-beli saja, ia juga mengemban misi pendidikan pangan dan pertanian, karena dalam perjalanan menyempurnakan makanan, ia membangun langkah awal dengan pemahaman “varietas tunggal”, yang dapat dikatakan sebagai langkah awal, setelah mampu “membedakan rasa”, baru mampu “mengenal rasa” dan kemudian membangun “cita rasanya”.
Ia berkata demikian, “Ketika konsumen mengetahui keunggulan dan kekurangan dari varietas yang berbeda, secara perlahan akan mengembangkan ide mereka sendiri, mengetahui apa yang suka dimakan, dengan siapa mereka membeli, paham bagaimana memilih, semua ini merupakan siklus lingkaran yang positif. Asalkan pegang kendali atas makanan sendiri, industri ini juga akan semakin dinamis, karena inilah akar dari segalanya.”
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Melalui mediasi dari Stone Shih, pâtissier membuat penganan berbentuk bakcang yang diolah dari perpaduan bahan makanan seperti beras Taiken No.9, vanila dan susu. Hidangan ini menarik perhatian dunia penganan. (Sumber: Fusing Rice Shop)
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Lin Mao-sheng secara khusus menonjolkan karakteristik dari varietas produk yang berbeda, bertujuan agar memudahkan konsumen dalam menentukan pilihannya.
Rasa Percaya Diri dari Pakar Beras
Berstatus sama sebagai “duta promosi beras”, Stone Shih yang mengelola toko “Fusing Rice Shop” di pasar Qiaozhong di Banqiao.
Sama sekali berbeda dengan Mao Rice. Di dalam Fusing Rice Shop, selain beras curah yang dijual berdasarkan timbangan berat, masih ada beras kemasan vakum bermerek dijual dengan banderol harga tinggi. Jika dihitung dengan seksama, untuk produk beras yang dijual saja, ada sebanyak 20 macam.
Stone Shih yang pernah bekerja di concept store terkenal selama 16 tahun, ia memiliki wawasan terkait “standar pemilihan barang”. “Sebagian besar orang menilai barang bagus karena mendengar pendapat orang lain. Sebaliknya jika orang lain berkata tidak bagus, maka akan merasa sepertinya tidak begitu bagus. Akan tetapi pengalaman dan standar dari setiap orang sebenarnya tidak sama. Terkait baik-buruknya ataupun penilaian preferensi sangatlah subyektif.” demikian ujar Stone Shih. Oleh karena itu, dirinya tidak pernah memaksa tamunya untuk membeli, malah memanfaatkan keterampilan pengembangan produk masa lalunya, untuk menggali keunggulan beras berkualitas dari berbagai penjuru, saat menawarkan ke pembeli, terlebih dulu memahami preferensi dan permintaan pelanggannya, baru memberikan rekomendasi yang tepat.
Seperti kelompok pelanggan yang diprioritaskan dalam pasar, ibu-ibu yang setiap hari menyiapkan makanan untuk keluarganya, mereka yang sangat perhitungan, maka beras curah dengan harga terjangkau tentunya akan menjadi pilihan utama mereka. Sedangkan anak muda sebagai kelompok yang menyukai hal-hal baru, mereka tidak sering memasak di rumah, jika membeli banyak maka tidak mampu menghabiskan, sehingga mereka tidak keberatan dengan produk beras bermerek dengan kemasan kecil dan harga yang agak tinggi. Selain itu, karena di sekitar pasar terdapat banyak pabrik, juga tidak sedikit kelompok pekerja migran yang tidak mengharuskan produk berkualitas tinggi, hanya berharap bisa mencicipi cita rasa yang hampir serupa dengan masakan kampung halamannya, untuk melepas rasa rindu akan kampung halamannya, maka dari itu, Stone Shih secara khusus memasok beras wangi Thailand.
Fusing Rice Shop bekerja sama dengan puluhan restoran, karena permintaan masakan yang berbeda, maka Stone Shih tidak hanya sebagai pemasok saja, tetapi juga berperan penting merekomendasikan varietas yang cocok. Sebagai contoh restoran ala Hongkong yang menyajikan produk bubur, nasi claypot, restoran ini perlu melanjutkan tradisi ini, maka menggunakan “long grain rice (beras butir panjang)”. Ia menyarankan bisa menggunakan cita rasa yang serupa, akan tetapi lebih mudah mengunakan beras wangi Thailand untuk menggantikannya, atau kuliner klasik Taiwan nasi daging babi cincang (nasi lurou), yang terpenting adalah nasi tidak boleh lembek setelah dilumuri dengan topping kuah daging babi cincang. Bagaimana pun juga, sebagian besar pelaku usaha akan mempertimbangkan biaya pengeluaran, agar kedua hal ini mendapat solusi terbaik maka mencoba menggunakan beras Taiwan yang lebih lunak dan lengket dicampur dengan nasi beras wangi Thailand.
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Lin Mao-sheng (kanan) dan Wu Liang-kuan (kiri) bekerja sama mempromosikan produk berkualitas unggul untuk konsumen yang sangat memerhatikan makanan berbahan beras. (Foto: Lin Min-hsuan)
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Stone Shih bekerja sama dengan industri lainnya menggelar seminar bertemakan beras, mempromosikan pendidikan pangan dan pertanian.
Menyempurnakan Hidangan Berbahan “Beras”
Mendapat pengaruh lingkungan luas, jumlah beras yang dikonsumsi masyarakat Taiwan berkurang dari tahun ke tahun, meskipun otoritas pertanian tidak henti-hentinya mengimbau agar warga “memperbanyak konsumsi beras Taiwan”, akan tetapi sulit untuk membalikkan situasi yang ada. Menurut pengamatan lebih lanjut, budaya konsumsi beras yang mengakar dan penyempurnaan terus berlanjut, bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan perkembangan yang pesat dan beragam.
Selain merek beras yang terus bermunculan, bahan dasar beras seperti shio koji, amakaze (arak sake), kerupuk beras juga telah memicu tren kecil di berbagai waktu dan kemudian menjadi populer di kalangan keluarga. Ada juga sejumlah restoran yang mengadopsi tema “beras”, atau dengan skala maupun level hidangan “beras” yang berbeda, dengan menitikberat perubahan beras, dan disempurnakan dengan makanan-minuman pelengkap sehingga membuat konsumen mendapatkan kesan baru tentang beras.
Beruntung sekali, ada pakar yang terus menyebarkan informasi dan tak kenal lelah menjelaskan kepada masyarakat tentang tahapan dan cara “menanak semangkok nasi yang lezat”, meskipun makan di rumah, semakin banyak orang yang bersedia untuk mengutamakan makan semangkok nasi, juga banyak restoran yang meluncurkan konsep ide konsumsi makanan lokal, bersedia untuk menggunakan beras produksi dalam negeri, bahkan melalui tangan koki yang kreatif, membuat kita dapat menggali potensi beras Taiwan yang tak terbatas.
Beras yang diolah menjadi semangkok bubur atau semangkok nasi, yang didapat dengan tidak mudah, dibaliknya mengandalkan kerja keras dari sejumlah petani, mendapat pengawasan ketat dari setiap pakar yang profesional. Ketika Anda sudah memahaminya, mengapa Anda tidak ikut mendukung bersama, mengapa tidak memberikan perhatian serius untuk setiap suap nasi, setiap mangkok nasi yang terhidang di atas meja?
.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)
Meningkatkan cita rasa, akumulasi budaya yang diawali dengan nasi yang terhidang di atas meja. (Sumber: Fusing Rice Shop)

.jpg?w=1080&mode=crop&format=webp&quality=80)