Rasa Beras yang Bertahan Selama Ratusan Tahun
Camilan Tradisional Rakyat – Kue Lobak
Penulis‧Chen Chun-fang Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Maria Sukamto
September 2025
Kue lambang keberuntungan yaitu kue lobak (蘿蔔糕pelafalan Taiyu: tshài-thâu-kué, merupakan hidangan klasik yang selalu hadir di meja makan saat Tahun Baru Imlek, sementara proses mengukus kue ini juga menjadi bagian dari kenangan masa kecil bagi banyak orang. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa kue sederhana dengan bentuk kotak persegi berwarna putih ini ternyata diwariskan sebagai wujud penghormatan kepada pangeran terakhir zaman pemerintahan Ming Zheng dari Dinasti Ming. Sampai sekarang, masih banyak pembuat makanan di berbagai daerah Taiwan masih tetap menjaga tradisi pembuatan kue lobak ini. Mereka tetap mempertahankan cara menggiling beras menjadi bubur, memarut lobak putih, dan menjalankan setiap langkah dengan tepat penuh perhatian. Dedikasi mereka yang setia di depan tungku api, membuat keharuman khas beras dan rasa manis segar dari lobak dalam kue lobak terus bergulir dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Nasi putih yang kita makan di Taiwan saat ini, dengan tekstur kenyal dan lengket, merupakan varietas yang dinamai beras penglai yang dibawa masuk ke Taiwan dan dibudidayakan selama masa penjajahan Jepang. Sebelum itu, makanan pokok para pendatang di Taiwan yang berasal dari masa Dinasti Ming dan Qing, adalah beras zailai yang bulirnya lebih lonjong, dengan tekstur lebih keras. Menurut penulis Wang Hao-yi seorang arkeolog kuliner, yang telah menerbitkan buku “Snack Institute” menyampaikan, beras zailai telah masuk ke Taiwan sejak akhir Dinasti Ming. Sebelum munculnya beras penglai, beras zailai telah menjadi makanan pokok selama kurang lebih 290 tahun, “Jadi semua camilan tradisional dari masa Dinasti Ming dan Qing, seperti kue lobak dan kue talam, pasti terbuat dari beras zailai. Dengan kata lain, makanan kecil tradisional Taiwan tidak pernah menggunakan beras penglai.”

Lai Kuo-cheng secara khusus menyesuaikan kerenyahan lapisan luar kue lobak dan tingkat kepedasan sausnya, menambahkan sentuhan kehangatan manusia pada hidangan jajanan tradisional ini.

Aroma dan tekstur dari beras tua Zailai, dipadukan dengan parutan lobak dalam proporsi yang pas, Wang Hao-yi menyebut cita rasa kue lobak ini sebagai “kelezatan duniawi tersembunyi yang halus”.
Secuil Sejarah Kudapan Olahan Beras Taiwan
Wang Hao-yi menyampaikan, untuk memenuhi kebutuhan akan tekstur yang berbeda-beda, beberapa produsen memilih menggunakan beras baru. Sementara itu, sebagian yang lainnya malah menggunakan beras tua yang telah disimpan selama lebih dari sembilan bulan, untuk dapat menghasilkan tekstur kenyal yang memberikan sensasi gigitan yang khas. Misalnya, makanan tradisional seperti kue lobak, bakwan kukus, dan dingbiancuo semuanya harus memakai beras tua untuk mencapai tekstur sempurna. Ini menunjukkan betapa ketatnya tuntutan proses pembuatan makanan dari beras.
Sebagai contoh kue lobak, harus menggunakan beras tua yang telah disimpan lebih dari satu tahun, direndam air terlebih dahulu, lalu digiling menjadi bubur beras. Sementara itu, lobak putih harus dikupas, diparut, dan kemudian direbus untuk menghilangkan bau langu khas sayur mentahnya. Setelah itu, lobak yang telah dimasak dicampur dengan bubur beras dan diaduk hingga rata, lalu dituangkan ke dalam cetakan. Proses akhir adalah dikukus selama lima hingga enam jam dengan api besar. Kadar air dalam bubur beras, tingkat kematangan lobak, proporsi bahan campuran, hingga pengaturan suhu saat mengukus, semua langkah ini adalah ilmu tersendiri.
Bagaimana kuliner berbasis beras yang begitu rumit dan menuntut ketelitian ini bisa diwariskan selama ratusan tahun? Wang Hao-yi menelusuri sejarah dan menyampaikan sebuah kisah menyentuh hati: Pada akhir masa pemerintahan Ming Zheng, pangeran Yen Ping terakhir, Zheng Ke-shuang bermaksud menyerah kepada Dinasti Qing. Ketika mendengar kabar ini, anggota terakhir keluarga kerajaan Ming yang berada di Taiwan, Pangeran Zhu Shu-gui demi kesetiaannya pada dinasti yang telah runtuh memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum mengakhiri hidupnya, Zhu Shu-gui, yang memiliki lahan pertanian luas di selatan Sungai Erren di Tainan, mengumpulkan para petani yang bekerja di lahannya dan menghadiahkan seluruh tanah tersebut kepada mereka sebagai tanda terima kasih.
Setelah pergantian dinasti, rakyat jelata, demi mengenang kebaikan hati Zhu Shu-gui, setiap tahun pada hari wafat dan hari kelahirannya, serta saat perayaan Tahun Baru, diam-diam membuat dan mempersembahkan kue-kue khas zaman Ming Zheng, seperti kue talas, kue gula merah, dan kue lobak di makamnya sebagai penghormatan.
Selama 213 tahun pemerintahan Dinasti Qing, tradisi pembuatan kue dan ritual penghormatan ini diwariskan secara turun-temurun. Hingga masa pendudukan Jepang di Taiwan, ketika masyarakat lokal tak lagi khawatir akan dihukum karena ritual tradisional, barulah makanan-makanan ini mulai dijual di pasar, dan perlahan-lahan menjadi camilan rakyat yang tersebar ke seluruh pelosok Taiwan.

Demi menjamin kualitas terbaik, Lai Kuo Cheng bersikeras menanam sendiri beras untuk membuat kue lobak.
Sarapan Sederhana di Bawah Pohon Besar
Lobak adalah hasil pertanian khas musim dingin. Pada masa lalu, ketika sayuran dataran tinggi belum tersedia, kue lobak adalah hidangan istimewa yang hanya muncul saat Tahun Baru Imlek.
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi pertanian dan perbaikan varietas tanaman, kini bisa makan lobak di musim panas, masyarakat Taiwan sekarang bisa menikmati kue lobak sepanjang tahun. Di Douliu, Yunlin, terdapat sebuah toko kecil bernama Ah Niu’s Radish Cake, yang telah diwariskan selama dua generasi. Mereka bahkan menanam sendiri beras zailai sebagai bahan dasar.
Setiap pagi saat matahari baru terbit, wajan penggorengan di bawah pohon besar mulai mengeluarkan suara desis “cesss”. Potongan demi potongan kue lobak digoreng hingga keemasan oleh Lai Kuo-cheng sang pemilik, sementara istrinya, Hsieh Pei-chun, sibuk menyajikan saus dan membungkus pesanan. Kue lobak yang renyah di luar dan lembut di dalam, dimakan bersama minuman sari beras buatan sendiri, ditambahkan lagi dengan sup darah babi atau sup miso campur, menjadi sarapan bergizi dan penuh energi.
Untuk menyediakan sarapan segar setiap hari, Lai Kuo-cheng sudah bangun pagi-pagi buta pukul 3.30. Selain persiapan membuka toko, ia juga harus menyelesaikan proses persiapan pembuatan kue lobak, seperti mengupas dan memarut lobak, serta menyiapkan bubur tepung beras basah. Ia menutup toko pada pukul 11 siang, lalu melanjutkan proses mengukus kue lobak sepanjang sore, hingga selesai menjelang malam. Setelah itu, kue dibiarkan dingin dan mengering secara alami semalaman, agar layak disajikan pada keesokan paginya.
Lai Kuo Cheng, pemilik toko Ah Niu’s Radish Cake, bersikeras menggunakan lobak lokal Taiwan. Ia sambil tertawa mengatakan, semakin pedas lobaknya, usai direbus mengilangkan bau langunya akan semakin manis rasanya. Mereka juga bersikeras menanam sendiri beras untuk membuat kue, demi memastikan kualitas. Ibunda Lai, Lai Zeng Mei-ye, bangun setiap pagi untuk menginspeksi ladang. Ia menuturkan kalau tanam sendiri, kita baru tahu bagus tidaknya kualitas beras itu. Untuk menjaga cita rasa yang “autentik”, kue lobak mereka dibuat 100% asli dari beras, termasuk minuman sari beras juga tanpa campuran tepung lain apapun. Tak heran jika aroma beras begitu kental dan murni saat disantap.
Lai Zeng Mei-ye yang berusia hampir 80 tahun, memperlihatkan bekas luka-luka di tangannya. Ia bercerita, dulu saat masih menggunakan kayu bakar, ia pernah terluka karena gergaji mesin saat membelah kayu. Sambil tertawa, ia bilang sekarang pakai gas, jauh lebih praktis. Melihat bentuk jari-jarinya yang agak berubah karena jahitan luka lama, membentuknya seperti sosok pejuang gagah yang telah menggunakan tangan itu untuk menjaga cita rasa tradisional Taiwan.
Perjalanan Lai Zeng Mei-ye belajar membuat kue lobak seperti cerminan hidup kebanyakan perempuan generasinya. Kue lobak adalah makanan wajib saat Tahun Baru Imlek, dan hampir semua wanita dulu pasti bisa membuatnya. Untuk menghidupi seluruh isi keluarga, ia dan suaminya mulai berjualan kue lobak di pinggir jalan. Sambil tertawa ia mengenang, hanya dapat NT$360 pada hari pertama jualan. Namun jajanan yang enak membuahkan reputasi. Kini, Ah Niu’s Radish Cake sudah menjadi tempat yang pasti didatangi warga lokal setiap hari, demikian pula menjadi tempat mampir wajib bagi para perantau saat pulang kampung .


Wajan penggorengan di bawah pohon besar mengeluarkan suara mendesis, kue lobak A Niu adalah cita rasa yang sulit dilupakan.

Zeng Zhao-hua (kiri) belajar cara membuat kue lobak dari ibu mertuanya, dan sekarang mengajarkannya langsung kepada putrinya.

Rasa Tradisional Pegunungan, Kue Lobak Aroma Kayu Bakar
Masih ada lagi yang menjaga rasa asli kue lobak tradisional, yaitu seorang ibu Hakka yang tinggal di Emei, Hsinchu bernama Zeng Zhao-hua. Dari sebuah rumah kecil di pegunungan, tercium aroma arang dari kayu bakar, itulah rumah Zeng Zhao-hua dan suaminya yang bernama Zhuang Huan-zhang. Di hadapan mata terdapat sepuluh tungku besar menyala dengan suara kayu terbakar yang khas, semua digunakan untuk mengukus “choi-thau-pan” (kue lobak dalam bahasa Hakka), yang akan dijual oleh keluarga Zhuang ke pasar keesokan harinya.
Zhuang Huan-zhang berkata kepada kami yang kepanasan hampir heat stroke, “Tidak akan ada yang betah! Ini pekerjaan berat sekali, apalagi Juni-Juli pas musim panas, panasnya bisa sampai 70–80 derajat.” Itu baru proses mengukusnya, belum termasuk persiapan bahan-bahan sebelumnya. Mengukus kue lobak dengan cara ini perlu waktu 5 - 6 jam, selama itu harus berjaga terus di depan tungku menjaga api tetap menyala, menambah kayu terus-menerus, dan memastikan air dalam panci.
Belum lagi kerja keras mengumpulkan dan membelah kayu bakar, yang semuanya dilakukan dengan tangan. Setelah benar-benar merasakan beratnya masak dengan api kayu, Zeng Zhao-hua mengaku pernah mencoba beralih ke kompor gas, tapi rasanya berbeda. Harumnya kue lobak dari asap kayu bakar, merupakan cita rasa kuno autentik yang diwariskan oleh ibu mertuanya.
Sekitar dua puluh tahun lalu, demi membesarkan empat anak dan membantu ekonomi keluarga, Zeng Zhao-hua mulai terpikir untuk berjualan kecil-kecilan. Ia lalu belajar teknik membuat kue lobak dari ibu mertuanya. Ia melakukan banyak eksperimen atas pengontrolan suhu api, dan waktu pengukusan kue lobak, perlahan-lahan ia menemukan cara terbaik yang memuaskan.
Zeng Zhao-hau menyampaikan, kalau ingin hasil kue lobak yang enak, bahannya tidak boleh pelit, Ia selalu menggunakan beras lokal Taiwan jenis zailai, dan memakai jenis lobak sesuai musim, panen lobak musim gugur–dingin biasanya dari wilayah selatan, sedangkan musim panas, ia akan pilih lobak dari Puli. Setiap helai serutan lobak semua terbalut sempurna oleh adonan bubur beras, tak heran jika setiap gigitan penuh aroma wangi lobak dalam kue lobak yang dimasak dengan kayu bakar.
Dulu, di desa-desa pertanian Taiwan, setiap keluarga mengukus kue lobak dengan kayu bakar. Namun kini, cara itu sudah jarang dijumpai. Zeng Zhao-hao tetap bertahan pada proses pengukusan dengan kayu bakar, agar anak cucu bisa merasakan cita rasa asli ini, meski prosesnya melelahkan. Baginya, wajah bahagia para langganan ketika menyantap kue lobaknya adalah suatu kepuasan di hati.

Keluarga Zhuang bertahan menghadapi kerasnya memasak dengan kayu bakar, agar aroma lezat kue lobak tradisional terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Saksi Perubahan Zaman di Jalan Kue Tradisional
Didirikan pada tahun 1964, Toko Kue Lin Jhen bermula dari sebuah gerobak kecil milik pendiri generasi pertama Lin Jhen di kawasan Dadaocheng, hingga berkembang menjadi bisnis grosir kue berbahan beras. Berbagai kue seperti kue lobak, kue talas, dan talam talas cincang, yang dijual di pasar-pasar tradisional di Taipei dan New Taipei ternyata dipasok langsung oleh Toko Kue Lin Jhen. Namun seiring dengan waktu, gaya hidup masyarakat Taiwan berubah, makanan barat makin populer, dan makin banyak orang lebih memilih makan di luar. Kebiasaan membeli kue lobak mentah dari pasar lalu digoreng sendiri di rumah, perlahan mulai ditinggalkan, terutama di kalangan generasi muda. Toko Kue Lin Jhen menjadi saksi hidup perubahan zaman makanan tradisional berbahan dasar beras ini.
Dadaocheng, salah satu kawasan yang paling awal berkembang di Taipei, dahulu dipenuhi pekerja dan buruh. Kue-kue berbahan beras menjadi sumber energi utama, oleh karena itu bermunculan banyak pedagang makanan beras di kawasan perdagangan Yanping. Saking banyaknya, daerah ini bahkan dijuluki “Jalan Kue”. John Lin, generasi kedua Toko Kue Lin Jhen, mengenang masa kecil waktu di sekolah dasar, setidaknya ada 20–30 toko kue di Jalan Kue itu.
Namun, seiring perubahan zaman, satu per satu, toko-toko kue di Jalan Kue tutup. Hanya Lin Jhen bersama dua putranya John Lin dan Lin Chai-ching yang tetap setia mempertahankan nama besar keluarga di Jalan Kue. Beberapa tahun lalu, lokasi toko lama terkena program pembangunan tata kota. Lin Jhen, yang seumur hidupnya membuat kue lobak, setengah bercanda meminta anak-anaknya menutup usaha saja. Namun kedua anaknya tak rela melihat cita rasa warisan keluarga lenyap begitu saja. Kakak beradik ini akhirnya memindahkan Toko Kue Lin Jhen ke Distrik Xinzhuang di Kota New Taipei, dan mengembangkan usaha ini menjadi pabrik makanan.

Toko Kue Lin Jhen mewarisi teknik pembuatan kue tradisional, sekaligus merancang kemasan dan cita rasanya dengan cermat, bertekad memperkenalkan budaya kuliner berbasis beras Taiwan kepada lebih banyak orang.

Toko Kue Lin Jhen mewarisi teknik pembuatan kue tradisional, sekaligus merancang kemasan dan cita rasanya dengan cermat, bertekad memperkenalkan budaya kuliner berbasis beras Taiwan kepada lebih banyak orang.
Inovasi Makanan Tradisional Taiwan Berbasis Beras
Menghadapi peningkatan jumlah pelanggan dengan penurunan rata-rata konsumsi per orang, serta perubahan kebiasaan konsumsi masyarakat, Lin Yu-chiang menyadari bahwa satu-satunya jalan agar usaha kue berasnya bisa bertahan terus adalah dengan membuka jalan baru. Maka ia pun memanggil putranya, Lin Fan-kai, yang sebelumnya bekerja di bidang desain lanskap di Amerika, untuk kembali ke Taiwan dan membantu membangun branding Toko Kue Lin Jhen sekaligus mengembangkan saluran penjualan e-commerce.
Dilahirkan sebagai generasi digital, Lin Fan-kai tumbuh besar menyaksikan para tetua di keluarganya yang begitu teguh mempertahankan teknik pembuatan kue beras tradisional. Ia ingin lebih banyak orang mengenal keindahan budaya kuliner beras Taiwan.
Dengan menetapkan misi merek sebagai “Inovasi Makanan Tradisional Taiwan Berbasis Beras”, Lin Fan-kai mulai berkreasi dari kue lobak tradisional dan mengembangkan berbagai varian rasa yang lebih modern. Misalnya, ia menciptakan Kue Lobak Duo Rasa Laut, yang menggabungkan saus XO dengan udang sakura dan kerang kering, menghadirkan rasa laut yang kaya dan mewah. Ia juga menggabungkan bahan-bahan bergizi seperti minyak wijen dan jamur kepala monyet (hericium erinaceus) untuk menghasilkan Kue Lobak Jamur Minyak Wijen yang menghangatkan tubuh. Dikemas dalam kotak berdesain minimalis dan modern, produk Toko Kue Lin Jhen pun berubah menjadi makanan berbasis beras yang “kekinian”, menarik perhatian banyak konsumen muda di internet.
Ke depannya, Lin Fan-kai juga merencanakan untuk membuka toko fisik di lokasi lama usaha kue mereka di Dadaocheng, memadukan visualisasi kepulan asap dapur tradisional ke dalam konsep desain ruang. Selain menyajikan makanan khas berbasis beras, ia juga berencana mengundang para pencinta kuliner untuk mengadakan seminar, menjadikan toko tersebut sebagai ruang interaksi budaya antara publik dan tradisi. Dengan terus mengeksplorasi berbagai kemungkinan baru untuk kuliner beras Taiwan, toko kue tradisional yang berpegang teguh pada teknik warisan leluhur ini akan terus mencurahkan semangat baru dan ide-ide segar.

Bersama kukusan bambu yang telah menyaksikan kejayaan Jalan Kue bersama Toko Kue Lin Jhen, hingga kini masih digunakan setiap hari untuk mengukus makanan berbahan dasar beras tradisional.
