Harmoni Sungai dan Laut di Gongliao
Menjelajahi Keunikan Pesona Pesisir Timur Laut
Penulis‧Chen Chun-fang Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Yunus Hendry
November 2025
Di depan Kuil Dongxing Fulong, terhampar pemandangan luas yang menyuguhkan panorama muara Sungai Shuangxi, Pantai Longmen, Jembatan Gantung Longmen, hingga pegunungan di kejauhan.
Perjalanan yang sesungguhnya bukan mencari lanskap baru, melainkan melihat lanskap dengan cara yang baru. – Sastrawan Prancis, Marcel Proust
Di Kawasan Pemandangan Alam Nasional Pesisir Timur Laut dan Yilan, area yang terbentang dari Tanjung Bitou hingga Teluk Sandiao dikenal sebagai Teluk Sandiao. Tanah ini merupakan tempat berpadunya berbagai budaya yang ditinggalkan oleh Suku Penduduk Asli dan orang Han. Kawasan ini juga menjadi lokasi pendaratan armada Spanyol pada masa pendudukan Belanda dan Spanyol, dan setelah penandatanganan Perjanjian Shimonoseki, menjadi titik pendaratan pertama Jepang di pulau Taiwan. Seiring berjalannya waktu, tempat ini seolah menjadi surga mandiri, yang tetap menjaga jejak sejarah tanahnya, serta gaya hidup masyarakat lokal yang penuh pesona.
“Dalam area terkecil dan jarak terpendek, Taiwan adalah daratan yang memiliki lingkungan ekologis dengan keragaman paling banyak.” Demikian yang dikatakan oleh Kuo Chen-meng, Ketua Kehormatan Asosiasi Ekowisata Taiwan. Bersama rekan-rekan asosiasinya, ia menggali kisah-kisah indah Teluk Sandiao dengan cara menafsirkan perspektif membaca lanskap kehidupan.

Akibat erosi laut dan angin, bebatuan unik dan aneh dapat dijumpai di seluruh penjuru Pesisir Timur Laut. Foto menunjukkan Bebatuan Unik Nanya. (Foto: Lin Min-hsuan)
Karya Agung Alam
Jika dilihat dari keseluruhan Pulau Taiwan, kawasan Pesisir Timur Laut-lah yang memiliki banyak formasi tanjung dan teluk, mengapa demikian?
Karena di sini, pertemuan antara barisan pegunungan dengan garis pantai hampir sejajar tegak lurus. Akibat erosi ombak laut yang berbeda-beda, lapisan batuan yang keras mampu menahan erosi dan menjadi tanjung, sedangkan yang lunak terkikis oleh air laut hingga membentuk lekukan ke dalam dan menjadi teluk. Hal ini menciptakan pesisir tanjung dan teluk yang memanjang dan berkelok-kelok. Ditambah lagi dengan angin kencang yang dibawa oleh angin monsun timur laut, di bawah pengaruh erosi laut dan angin, bebatuan dengan bentuk unik dan aneh dapat dijumpai di mana-mana di Pesisir Timur Laut. Contohnya seperti di Tanjung Bitou yang dipenuhi oleh batuan jamur dan batuan sarang lebah, sementara di Aodi terdapat batu yang menyerupai kura-kura dan anjing pudel yang berdiri kokoh di laut, menjadikan Pesisir Timur Laut penuh dengan karya agung alam.
Kuil Zhaohui adalah pusat kepercayaan masyarakat Komunitas Longmen, dengan dewa utama yang dipuja adalah Kai Zhang Sheng Wang, yang oleh penduduk setempat disebut Sheng Wang Gong.
Membaca Lanskap Alam di Kuil Dongxing
Berdiri di halaman Kuil Dongxing Fulong dan memandang ke kejauhan, Anda dapat menyaksikan pemandangan muara Sungai Shuangxi, Pantai Longmen, Jembatan Gantung Longmen, Tanjung Bitou di kejauhan, serta panorama pegunungan dari Jajaran Kaki Perbukitan Barat secara menyeluruh. Kuo Chen-meng mengutarakan, pantai keemasan Fulong terbentuk dari butiran pasir yang berasal dari Jajaran Kaki Perbukitan Barat. Iklim yang kaya curah hujan membawa butiran-butiran pasir dari pegunungan, menyusuri Sungai Shuangxi, hingga terhanyut ke muara. Sementara itu, angin monsun timur laut meniup kembali pasir yang seharusnya mengalir ke laut, ditambah lagi dengan “arus sejajar pantai” di Pantai Fulong yang memindahkan butiran pasir di sepanjang pesisir. Melalui interaksi antara air sungai dengan air laut, secara bertahap terbentuklah sebuah bentang alam endapan yang unik, yang satu ujungnya terhubung dengan daratan dan ujung lainnya menjulur ke laut, yang disebut “bura”.
Di atas pantai ini, tidak hanya terjadi pertemuan alam, tetapi juga pertemuan antaretnis. Seribu hingga dua ribu tahun yang lalu, orang Basay datang ke Taiwan dari negeri legendaris Sanasai, dan mendarat di Pantai Longmen. Satu cabang bergerak ke utara dan berkembang menjadi suku Ketagalan, cabang lainnya bermigrasi ke selatan menuju Yilan dan menjadi suku Kavalan, sementara mereka yang menetap dan berakar di Tanjung Sandiao mendirikan permukiman di muara Sungai Shuangxi, menjadi komunitas Sandiao.
300 tahun silam, kawasan Longmen dan Aodi, karena cocok untuk pelayaran, menarik orang-orang Han untuk datang dan membuka lahan. Sebagai contoh, Wu Sha pernah menggunakan Aodi sebagai basis untuk membuka lahan di Yilan, dan makam Wu Sha (1731 – 1799) di Aodi menjadi buktinya. Sampai pada tahun 1895, setelah penandatanganan “Perjanjian Shimonoseki”, lokasi pendaratan pertama Divisi Garda Kekaisaran Jepang di Taiwan adalah Yanliao, bahkan sebuah monumen pendaratan didirikan di sana, yang kini dikenal sebagai Monumen Peringatan Perlawanan Anti-Jepang di Yanliao. Mendengarkan kisah pertemuan berbagai etnis di pantai ini selama lebih dari 2.000 tahun, sejarah Taiwan perlahan terbentuk dari pertemuan-pertemuan tersebut, perubahan yang terjadi seiring waktu, tersimpan di tanah ini.
“Kediaman Keluarga Wu” di Longmen, sebuah kompleks rumah sanheyuan, menggunakan batu pemberat kapal sebagai bahan bangunannya, menjadi saksi kejayaan pelayaran di masa lalu.
Wu Han-en dari Dawn Culture Studio memandu tur sambil memperkenalkan “Rumah Batu Pasir”, sebuah bangunan dengan ciri khas lokal.
Longmen yang Bukan Sebuah Penginapan
Jika ingin menelusuri jalinan sejarah suatu tempat lebih mendalam, berkunjung ke Longmen pasti tidak akan mengecewakan.
“Pernah dengar tentang Longmen?” Wu Han-en dari Dawn Culture Studio setiap kali memandu tur selalu senang melontarkan pertanyaan ini sebagai pembuka. Ada yang teringat film “Dragon Inn”, ada pula yang terpikir tentang kedai pangsit, tetapi sedikit sekali yang tahu bahwa desa yang terletak di Pesisir Timur Laut ini ternyata menyimpan kekayaan geografi dan humaniora yang mendalam.
Sejak Jalan Raya Pesisir dibuka, kendaraan lebih banyak melintas di pinggiran desa, dan jarang ada yang benar-benar masuk ke dalam permukiman. Wu Han-en menjelaskan bahwa Longmen adalah desa yang terletak di antara Sungai Shuangxi dan Samudra Pasifik, yang transportasi sungainya pernah sangat ramai. Karena berdekatan dengan muara Sungai Shuangxi, tempat ini menjadi titik transit barang, menghubungkan Keelung dan Tamsui, serta menyambungkan Jalur Kuno Tamsui-Kavalan dengan Yilan, sempat merupakan permukiman terbesar ketiga yang makmur di Gongliao.
Masuk ke dalam permukiman, terasa bahwa Longmen adalah sebuah “permukiman sungai laut” yang berkembang di tepi Sungai Shuangxi. Dahulu, penduduknya bermata pencaharian dari menangkap ikan, menggunakan pukat tarik di pantai, dan pada musim dingin mereka menangkap bibit belut di muara Sungai Shuangxi. Ada pula nasi pukat tarik, hidangan khas setempat yang menjadi bekal untuk melaut. Hidangan ini dibuat dengan menumis jamur, daging cincang, dan keripik lemak babi, lalu dimasak perlahan bersama beras mentah. Kemudian dibungkus dengan daun mara dan daun waru, diikat dengan tali dari rumput liar yang tumbuh di muara. Sungguh sebuah cita rasa lezat yang memanfaatkan bahan-bahan setempat.
Di samping sumur tua berusia ratusan tahun, berdiri megah sebuah rumah lokal Taiwan, sanheyuan, dari batu yang utuh dan indah, yakni “Kediaman Keluarga Wu”. Wu Han-en menjelaskan bahwa balok-balok fondasi batu yang panjangnya mencapai dua hingga tiga meter ini menggunakan batu pemberat kapal, menjadi saksi kekuatan ekonomi keluarga terpandang tersebut dari perdagangan maritim di masa lalu, sekaligus jejak sejarah pembukaan lahan di Longmen. Di antara gang-gang Longmen, terdapat pula jenis bangunan khas yang disebut “rumah batu pasir”, yang dibangun oleh penduduk zaman dahulu dengan menggunakan batu pasir endapan dari Sungai Shuangxi. Bangunan ini memiliki keunggulan tahan angin dan air, sebuah arsitektur yang sarat dengan kekhasan lokal.
Budaya perikanan, pembukaan lahan oleh orang Han, pasang surut kejayaan transportasi sungai, interaksi antara penduduk asli dengan orang Han, serta kekayaan ragam tumbuhan pesisir di Pantai Longmen, semuanya terakumulasi di dalam permukiman yang tenang ini.
Di Jalan Tua Gongliao, penduduk setempat membuka lapak di depan rumah mereka, menjual sayuran segar lokal yang mereka banggakan.
NPC Jalan Tua Gongliao
Menurut Kuo Chen-meng, mempromosikan pariwisata lokal melalui gaya hidup adalah sebuah ciri khas Taiwan. Jika Longmen diibaratkan sebagai pemukiman bersejarah yang tersembunyi di antara sungai dan laut, maka Jalan Tua Gongliao adalah sebuah area yang terletak di antara gunung dan perairan, serta memancarkan suasana penuh keakraban.
Jalan yang panjangnya tak sampai 200 meter ini menyimpan begitu banyak kenangan kehidupan. Di ujung jalan, terdapat Klinik Lewen, tempat Dokter Chang Yin-chao bertahun-tahun menjaga kesehatan penduduk Gongliao. Ia tidak hanya menyediakan layanan antar-jemput, tetapi juga naik ke gunung untuk melakukan kunjungan medis.
Di jalan tua ini juga terdapat kafe yang dikelola oleh para pensiunan, pangkas rambut tua, penjual kue qingtuan buatan tangan, serta sebuah lapak sayur kecil milik seorang ibu setempat di depan rumahnya. Ia menjual sayuran segar musiman dan talas gunung, dengan bersikeras hanya menjual produk lokal berkualitas agar hati orang yang membelinya bisa tenang.
Dahulu, jalan tua ini luar biasa ramai. Pernah ada hingga delapan atau sembilan kios daging babi, dan segala kebutuhan hidup tersedia lengkap. Tempat ini merupakan pusat perdagangan dan titik kumpul penting bagi penduduk dari daerah pegunungan dan pesisir di sekitarnya. Meskipun kini tak lagi semakmur masa lalu, jalan ini justru menampilkan pesona sederhana yang berbeda. Para penduduk masih sering pergi ke Sungai Fangjiao untuk mencuci pakaian sambil bercengkerama. Terletak di ujung jalan, “Mong-ho-ho Barn” menjadi tempat berkumpulnya hasil pertanian lokal dan kerajinan tangan. Dinding jerami di dalam toko dibuat dari batang-batang padi yang tumbang akibat taifun, diubah menjadi dinding pajangan untuk mengabadikan hasil jerih payah para petani.
“Setiap orang di sini seperti NPC (Non-Player Character), Anda harus berinteraksi dengan mereka untuk menemukan begitu banyak cerita di baliknya,” ujar Yuan I-chieh, pemilik U Pudding Coffee, sambil tertawa. Di matanya, Jalan Tua Gongliao mungkin tidak ramai dan tidak komersial, tetapi penuh dengan suatu kebebasan dan kehangatan yang memungkinkan seseorang untuk “menjadi diri sendiri sesuka hati”.
Berlokasi di Jalan Tua Gongliao, “Mong-ho-ho Barn” adalah ruang pameran untuk pertanian dan ekologi yang ramah lingkungan, menyambut para pelancong untuk singgah dan mendengarkan kisah restorasi sawah terasering.
Agar-agar Gelidium Milik Nenek Sang Wanita Laut
Kehidupan di Pesisir Timur Laut Taiwan tidak hanya berlangsung di darat, tetapi juga di antara deburan ombak. Di Aodi, kami bertemu dengan seorang wanita laut yang telah menyelam selama lebih dari enam puluh tahun──Nenek Chen Yue-yun yang penuh semangat.
“Saya mulai tshàng-tsuí (menyelam) sejak usia sepuluh tahun,” kata nenek penyelam berusia 74 tahun itu sambil tersenyum. Istilah lokal tshàng-tsuí berarti menyelam ke dalam air untuk mengumpulkan gelidium, bulu babi, dan hasil laut lainnya. Selain itu, ada juga istilah khiā suann, yang mengacu pada kegiatan memungut hasil laut di zona pasang surut atau memanjat bebatuan karang untuk mengumpulkannya. Sang nenek berkata, kehidupan di masa lalu sangat sulit. Mereka yang tinggal di gunung bergantung pada gunung, mereka yang melaut bergantung pada laut, dan mereka yang tinggal di tepi pantai, hidup dengan mengumpulkan hasil laut.
Musim panen gelidium di Pesisir Timur Laut biasanya berlangsung dari April hingga Juni setiap tahunnya. Prosesnya dimulai dengan menyelam ke laut saat air surut untuk memanen, kemudian melalui proses rumit tujuh kali cuci dan tujuh kali jemur, untuk menghilangkan sisa karang dan kotoran. Proses ini mengubah warna rumput laut dari merah kecokelatan menjadi krem, barulah ia siap dimasak menjadi agar-agar gelidium yang kaya akan cita rasa laut.
Pekerjaan sebagai wanita laut penuh dengan bahaya, dan mereka mengandalkan pengalaman untuk menilai kondisi laut. Sebenarnya, sang nenek sudah lama bisa menikmati masa pensiunnya dengan santai. Namun, menyelam telah menjadi bagian dari ingatan tubuhnya. Setiap kali musim panen gelidium tiba, ia akan menjawab panggilan laut. Ia turun ke air untuk memanen gelidium, memasak agar-agar gelidium yang kenyal dan lembut, serta menjaga cita rasa khas Pesisir Timur Laut ini.
Setelah dipanen secara manual, gelidium harus melalui proses tujuh kali pencucian dan tujuh kali penjemuran, agar warnanya yang merah kecokelatan berangsur-angsur berubah menjadi krem, barulah dapat dimasak menjadi agar-agar gelidium yang kaya akan cita rasa laut.
Agar-agar gelidium adalah cita rasa yang tercipta dari perpaduan lautan Pesisir Timur Laut dan keahlian para perajinnya, setiap suapannya merupakan hasil dari jerih payah.
Mencicipi Cita Rasa Lautan
Terus menyusuri pesisir ke arah utara, sinar matahari Teluk Sandiao jatuh di atas deretan kolam, inilah lokasi Nice Store. Perairan Teluk Sandiao, dengan pertemuan arus laut, ditambah kadar garam yang stabil, serta zona pasang surut yang berbatu, telah menjadi habitat yang ideal bagi pertumbuhan abalon. Konon, delapan puluh persen dari total produksi abalon di seluruh Taiwan berasal dari teluk ini.
Pemilik Nice Store, Li Sheng-xing yang lahir dan dibesarkan di Gongliao. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ia kembali ke kampung halamannya untuk meneruskan usaha budi daya milik ayahnya. Jika dahulu ia hanya membudidayakan abalon, kini ia juga beternak udang putih, anggur laut, dan bulu babi ungu, sekaligus menghidupkan kembali tambak-tambak yang pernah terbengkalai.
Di Nice Store, tidak hanya dapat membeli hasil laut segar, tetapi juga mengikuti tur ekologi budi daya. Pengunjung dapat mencoba memanggang abalon secara langsung atau mengambil selang untuk menyemprotkan ganggang sebagai pakan. Li Sheng-xing, yang telah mencicipi berbagai olahan abalon, mengatakan, “Memanggang langsung adalah cara terbaik untuk menikmati kelezatan abalon, karena itu adalah cita rasa dari kenangan masa kecil.” Musim panen abalon berlangsung dari musim gugur hingga musim semi. Saat angin monsun timur laut bertiup kencang di musim gugur dan dingin, para orang dewasa sibuk memanen, sementara anak-anak berkumpul di sekitar api unggun untuk menghangatkan diri dan diam-diam memanggang abalon untuk dimakan, meskipun sering dimarahi, tetapi cita rasanya sungguh tak terlupakan.
Kini, hasil laut segar dari teluk ini ia olah menjadi hidangan seperti mi anggur laut dan pizza cita rasa laut, dengan tujuan membawa cita rasa Pesisir Timur Laut ke dalam kehidupan sehari-hari. Li Sheng-xing merasa, “Revitalisasi lokal harus didasari oleh industri khas daerah, dengan demikian SDM bertalenta mau kembali dan menetap.” Tambak yang berkilauan ini bagaikan sebuah praktik kehidupan yang nyata, selangkah demi selangkah memelihara cita rasa khas Pesisir Timur Laut.
Kawasan Teluk Sandiao memiliki pemandangan alam, sejarah humaniora, ekologi desa nelayan, flora pesisir, dan budaya para pengrajin pesisir yang menanti untuk dijelajahi oleh para pelancong. Selama Anda bersedia memperlambat langkah dan membuka pancaindra, pemukiman pesisir di Pesisir Timur Laut ini akan menyambut Anda dengan cara yang tak terduga.
Li Sheng-xing dari Nice Store merevitalisasi tambak yang terbengkalai untuk membudidayakan produk perairan seperti udang putih ekologis dan bulu babi ungu.
Dengan memanfaatkan lingkungan laut Pesisir Timur Laut dan dipadukan dengan metode budidaya ekologis, Nice Store menghasilkan abalon dan anggur laut, yang memungkinkan orang untuk mencicipi cita rasa khas dari Pesisir Timur Laut.


