Jalur Kereta Api Hutan Alishan Kembali Beroperasi Sepenuhnya
Perjalanan Lokomotif Uap Antik Melintasi Abad
Penulis‧Lynn Su Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Yunus Hendry
September 2025
Berwisata pada hakikatnya adalah berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan moda transportasi yang menarik selalu menambah dimensi imajinasi dan harapan para wisatawan. Mungkin karena itulah, meski bukan seorang penggemar kereta api, orang-orang akan tetap memiliki ketertarikan alami yang sulit diutarakan terhadap kereta api dan rel kereta api. Di Taiwan, jalur kereta yang paling terkenal adalah kereta lintas hutan Alishan, yang juga merupakan “Lima Keajaiban Alishan”.
Kereta hutan ini telah memberikan Chiayi panorama yang berbeda dari kota-kota lainnya.
Memasuki area Depot Kereta Hutan Alishan yang terletak di Kota Chiayi, maka lokomotif (biasa juga disebut kepala kereta api) bergerak perlahan sesuai jadwal keberangkatan. Di pinggir jalan raya, palang pintu perlintasan akan diturunkan, kemudian menunggu kereta api yang dengan perlahan akan melintasi jalan.
Di sini, rel kereta begitu dekat dengan kehidupan masyarakat, bahkan tanpa pagar pembatas. “Ini adalah pemandangan yang sulit ditemukan di kawasan perkotaan yang sudah mengalami elevasi rel atau pemindahan ke bawah tanah,” jelas Ku Ting-wei, pakar kereta api dan Kepala Redaksi majalah “Rail News” kepada kami.

Perjalanan melintasi zaman lokomotif uap berusia seabad ini melambangkan kebangkitan kembali sejarah berharga Chiayi sebagai kota kayu.
Rel Kereta Api Ada di Depan Rumahku
Perasaan ini semakin mendalam ketika mengunjungi stasiun-stasiun di sepanjang jalur kereta. Manajer dari The Alishan Forest Railway and Cultural Heritage Office, Wu Ming-han telah menulis dan menerbitkan buku berjudul “2421m Ascent: Travelogue of the Alishan Forest Railway” yang mengangkat tema kehidupan penduduk di sepanjang rel kereta.
Di bawah panduannya yang penuh antusias kami mengunjungi Stasiun Zhu-qi. Stasiun yang terbuat dari kayu ini baru saja direnovasi beberapa tahun belakangan, dengan warna biru Tiffany yang mencolok tetapi tetap selaras dengan panorama di sekitarnya. Dikarenakan Zhu-qi adalah stasiun pertama yang menghubungkan area dataran rendah dengan pegunungan, maka di jalurnya terdapat rel berbentuk segitiga yang berfungsi membantu lokomotif berputar arah. Selain itu, juga ada anjungan pengisian batu bara dari kayu dan stasiun penimbangan untuk menambah bahan bakar. Kumpulan elemen kereta api inilah yang menjadikan tempat tersebut ditetapkan sebagai situs bersejarah tingkat kabupaten.
Di sini kami juga bertemu dengan fotografer kereta api Lai Guo-hua, yang menggunakan nama pena “Ikan Laut Dalam”. Ketika tersiar kabar bahwa jalur kereta Alishan akan ditutup, sebagai penduduk setempat ia tidak rela melihat rel kereta yang telah menjadi bagian dari kesehariannya menghilang begitu saja. Untuk menyimpan kenangan, ia mulai membidik dengan kameranya, dan selama lebih dari 20 tahun memotret, ia telah mengumpulkan hampir satu juta gambar berharga.
Mantan Kepala Stasiun Zhu-qi, He Feng-men, yang tinggal tepat di samping rel kereta, bercerita kepada kami, “Banyak orang di sini yang pekerjaannya berkaitan dengan jalur kereta ini.” Setelah tinggal di asrama kereta hutan selama 50 tahun, latar belakangnya mirip dengan Lai Guo-hua, kakek dan ayahnya juga bekerja sebagai kepala perawatan yang bertanggung jawab memperbaiki jalur kereta. Dengan nama yang sangat istimewa, sang mantan kepala stasiun ini benar-benar seperti namanya, seolah mendedikasikan hidupnya untuk jalur kereta, yaitu terus menjaga pintu gerbang yang menyambut kedatangan dan kepergian, sungguh seorang penjaga yang setia!

Stasiun Zhu-qi yang baru direnovasi beberapa tahun belakangan ini tampil memukau dengan warna biru Tiffany yang mencolok.
Jalur Kereta Hutan Terputus 15 Tahun Karena Taifun
Namun, untuk mempertahankan operasi jalur kereta hutan yang membentang dari ketinggian 30 meter hingga 2.451 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan maksimum mencapai 6,25%, bukanlah hal yang mudah.
Lian Xiang-yi, teknisi senior dari The Alishan Forest Railway and Cultural Heritage Office, menjelaskan kepada kami bahwa ketika orang Jepang pertama kali membangun jalur kereta ini, tujuannya adalah untuk mengangkut kayu dari pegunungan ke dataran rendah, dengan pertimbangan utama pada kebutuhan industri. Akibatnya, banyak rel lama yang dibangun secara sederhana di atas tanah yang rapuh. Seiring dengan ancaman cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi di era modern, kelangsungan dan perawatan jalur kereta ini terus menghadapi tantangan.
Pada tahun 2009, karena dampak dari Taifun Morakot menyebabkan kerusakan di 421 titik sepanjang jalur kereta hutan. Setelah enam tahun perbaikan, jalur kereta baru mulai beroperasi kembali pada awal September 2015. Namun pada akhir bulan yang sama, Taifun Dujuan kembali melanda, akibatnya Terowongan No. 42 rusak berat karena terhantam oleh longsoran seluas 100.000 meter persegi, sehingga jalur kereta terpaksa ditutup kembali.
Pemulihan jalur kereta kehutanan menjadi sebuah keharusan. Bagi penduduk lokal, jalur kereta ini merupakan bagian penting dari memori hidup mereka. Selain itu, pada tahun 2019, jalur kereta hutan telah ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan (MOC) sebagai “Lanskap Budaya Penting”. Di luar nilai warisan budaya nasionalnya, kereta hutan yang kini beralih fungsi menjadi objek wisata ini juga merupakan destinasi internasional yang ikonik di Taiwan.
Hal ini membuat Lian Xiang-yi, yang bertanggung jawab atas proyek restorasi Terowongan Nomor 42, merasa sangat terhormat, dan ia tidak mengecewakan harapan banyak orang. Setelah proses pemulihan yang memakan waktu 15 tahun, yakni semenjak 2009 hingga 2024, dan akhirnya pada Juli 2024, otoritas jalur kereta hutan mengumumkan pemulihan layanan di seluruh rute.

Di Stasiun Zhu-qi, masih dapat terlihat anjungan pengisian batu bara yang dulu digunakan oleh kereta api uap.
Kecil Tapi Tak Sederhana: Proyek Pemulihan Terowongan No. 42
“Ini memang proyek kecil, tetapi sama sekali tidak sederhana.” Lian Xiang-yi mengutip perkataan kontraktor pelaksana ketika menjelaskan tentang rencana konstruksi yang akhirnya dipilih, yaitu dengan menghindari area longsor dan membangun jalur terowongan baru. Lian Xiang-yi menjelaskan, meskipun kereta api harus kehilangan pemandangan indah sepanjang 200 meter saat memasuki terowongan, “Namun dari segi ketahanan jangka panjang, daya tahan, dan keamanan, ini adalah pilihan terbaik. Lereng yang longsor pun bisa pulih secara alami seiring berjalannya waktu.”
Proyek ini memakan waktu empat tahun penuh. Sebelumnya, membutuhkan dua tahun untuk evaluasi dampak lingkungan. Setelah konstruksi dimulai, berbagai tantangan bermunculan, mulai dari kekurangan tenaga kerja akibat pandemi, hingga dampak perang Rusia dengan Ukraina yang memaksa tim mengganti bahan peledak lateks dengan bahan peledak gel berbasis air yang kurang efektif, sehingga menambah tingkat kesulitan pekerjaan.
Selain itu, untuk mengurangi gangguan terhadap ekosistem, rute terowongan sengaja memilih jalur yang sulit. Penggalian terus dilakukan dari dalam terowongan yang sudah ada, tidak lagi membuat lubang galian baru. Penggalian “masuk terowongan dari dalam terowongan” semakin meningkatkan tingkat kesulitan konstruksi secara signifikan.
Di bawah kegigihan Lian Xiang-yi, jalur lama yang sudah ada tetap dipertahankan. Dalam pemikiran Lian Xiang-yi, para wisatawan dapat menaiki kereta dengan tema tertentu, bahkan bisa berhenti sejenak di tempat ini, turun dari kereta untuk mengagumi jejak jalur kereta hutan yang bangkit kembali dari bencana di masa lampau. Desain yang kecil tetapi detail ini, yang sarat dengan pemikiran humanis, merupakan karya yang paling membuatnya percaya diri sebagai pengelola proyek.

Terowongan No. 42 yang telah direkonstruksi menggunakan metode “masuk terowongan dari dalam terowongan”. Meski tingkat kesulitan konstruksinya lebih tinggi, tetapi teknik ini mampu meminimalkan gangguan terhadap ekosistem sekaligus menjamin keselamatan. (Foto: Wu Ming-han)
Jejak “Uap” Kembali Hadir Setelah Terkubur 43 Tahun
Kereta api yang hilir mudik di atas rel, tak diragukan lagi merupakan primadona paling menarik perhatian di jalur kereta hutan. Terlebih lagi kereta api uap yang mengepulkan asap, meski hanya mempertahankan tingkat teknologi industri 1.0 dan bergantung pada tenaga pembakaran batu bara. Dibandingkan dengan kereta api modern yang dilengkapi banyak produk elektronik, maka fungsinya memang terbilang sederhana.
Namun asalkan perawatan dilakukan dengan baik, kereta ini masih dapat terus digunakan dengan mempertahankan bentuk dan mekanisme aslinya seperti dulu. Memasuki area Depot Kereta Hutan Alishan, lokomotif uap Shay 21 yang juga baru kembali bertugas dengan penuh kebanggaan di tahun 2024, kini terparkir tenang di dalam depot, menanti jadwal tugasnya yang jatuh pada satu hari Sabtu setiap bulannya.
Berkat kemampuan mendakinya yang luar biasa, lokomotif No. 21 yang didatangkan dari Amerika Serikat pada tahun 1912 ini pernah mengabdi di jalur kereta hutan selama lebih dari 60 tahun. Setelah pensiun, pada tahun 1976 lokomotif ini dipajang di Taman Kota Chiayi, tersimpan selama 43 tahun. Hingga pada tahun 2019, Biro Kehutanan mengalokasikan dana NT$22 juta, melalui proses restorasi selama 18 bulan dan uji coba selama 9 bulan, kereta api tua ini akhirnya bertransformasi dengan megah.
Di era transportasi modern yang berkembang pesat seperti sekarang, merestorasi dan mengembalikan kereta api kuno untuk beroperasi kembali di atas rel merupakan “simbol kekuatan lunak negara”, demikian pendapat Ku Ting-wei. Kereta api uap ini membawa serta sejarah perkembangan Chiayi sebagai kota kayu. Dari sisi pelestarian aset budaya dan memori sejarah kelompok etnis, maka nilai simbolisnya tak perlu diragukan lagi.
Belum lagi, sebagai salah satu destinasi wisata terkenal Taiwan, Alishan dengan kereta api uapnya yang menggemaskan, penampilan retro nostalgia, serta ruang gerbong yang meski sempit tetapi penuh kehangatan, tidak hanya menumbuhkan rasa simpati di hati para wisatawan, tetapi juga menjadi daya tarik tersendiri dalam perjalanan mereka.
Meskipun proses restorasi ini bukanlah perkara mudah. Setelah tergeletak bertahun-tahun, badan lokomotif No. 21 yang terbuat dari pelat besi, komponen dan lainnya, telah mengalami korosi parah. Ditambah lagi, unit pengelola jalur kereta hutan telah berganti tangan beberapa kali. Baru pada tahun 2018, pengelolaannya kembali ke tangan Biro Kehutanan, dan pada tahun yang sama dibentuklah The Alishan Forest Railway and Cultural Heritage Office yang khusus menangani hal ini.
Pergantian pengelola berulang kali mengakibatkan terputusnya mata rantai pengetahuan teknis. Data, teknologi, dan sumber daya manusia mengalami keterputusan serius. Musibah kebakaran yang melanda Bengkel Reparasi Beimen Chiayi pada 1993 semakin memperburuk keadaan, banyak dokumen penting warisan budaya yang musnah terbakar.
Chiu Tsung-te, teknisi dari Kantor Pengelolaan Jalur Kereta Hutan yang tergabung dalam tim restorasi, mengenang masa-masa awal mereka menggarap proyek ini. Selain harus membongkar satu per satu komponen untuk kemudian diproduksi ulang, yang lebih sulit ditangani adalah memahami fungsi setiap struktur dan cara kerja aliran uap dalam sistem lokomotif. Mereka tidak hanya membandingkan data dari berbagai sumber, tetapi juga mendatangi para teknisi senior yang dulu pernah bekerja di jalur kereta hutan maupun Taiwan Railways Administration (TRA). Beruntung, para sesepuh yang sekarang sudah berusia senja ini dengan senang hati memberikan bantuan. Dari merekalah para anggota tim belajar menerjemahkan kembali istilah-istilah teknis berbahasa Jepang yang biasa mereka gunakan ke dalam bahasa Mandarin.

Pakar kereta api Ku Ting-wei menegaskan bahwa restorasi lokomotif uap kuno merupakan simbol kekuatan lunak sebuah negara, sekaligus menjadi daya tarik budaya dalam sektor pariwisata.

Lokomotif uap Shay 21 memiliki silinder tegak yang dapat dinikmati langsung dari luar. Pemandangan silinder yang bergerak dinamis saat kereta melaju sangat memukau dan meninggalkan kesan mendalam.

Beroperasinya kembali jalur Kereta Hutan Alishan secara penuh dan transformasi memukau lokomotif uap ini tidak lain berkat kerja sama sekelompok sekrup kecil, yang tekun dan berdedikasi. Foto menampilkan para teknisi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan kereta api.
Warisan Budaya untuk Taiwan, Juga untuk Dunia
Yang membuat tim restorasi sangat bangga adalah lokomotif No. 21 ini berhasil direstorasi dengan prinsip mempertahankan orisinalitas. Komponen-komponen baru yang diproduksi ulang, semuanya buatan Taiwan, mencapai 60 persen dari keseluruhan suku cadang lokomotif.
Cerobong asap hitam yang ikonik beserta ketel uapnya, ditambah dua kotak pasir dan tabung uap yang menyerupai punuk unta, memancarkan aura berat dan kokoh. Di sisi kanan kepala lokomotif, terpasang mesin pembakaran eksternal yang sangat memikat para penggemar kereta api, sesuatu yang tak akan ditemui pada kereta api modern. Tiga silinder tegak yang terbuka, bersama dengan roda gigi payung besar dan kecil yang terhubung dengan silinder, bekerja layaknya sistem transmisi sepeda. Mekanisme ini mampu menghasilkan torsi besar melalui perpindahan dari gigi kecil ke besar. Meski tak unggul dalam kecepatan, lokomotif ini sanggup menaklukkan tanjakan curam. Desainnya yang dilengkapi sambungan fleksibel memungkinkannya bermanuver di tikungan pegunungan.
Hal ini menjadikan lokomotif No. 21 bagaikan seekor gajah, penampilannya memang berat dan kokoh, tetapi kinerjanya memiliki kelincahan tersendiri, “kontras yang memikat”.
Oleh karena itu, setiap kali wisatawan melangkahkan kaki ke area depot kereta yang kini menjadi salah satu objek wisata, akan berseru takjub, “Kereta apinya bergerak!” atau berebut naik ke gerbong yang sempit dengan hati berbunga-bunga menuju Alishan, mampukah mereka menyadari bahwa panorama yang tampak biasa ini sesungguhnya ditopang oleh kerja keras sekrup-sekrup kecil yang bekerja tanpa kenal lelah? Para pekerja kereta api yang setia menjalankan tugas di pos masing-masing ini kompak menyampaikan harapan mereka, semoga dapat memenuhi amanah yang dipercayakan, membawa kembali pemandangan yang nyaris hilang ke hadapan dunia.

Seiring bertambahnya ketinggian, membuat panorama di luar kereta api pun berubah. Foto menampilkan lanskap hutan setelah melewati Stasiun Fen Chi Hu.





