Saus Shacha ala Taiwan
Sajian Aneka Cita Rasa Rekam Jejak Bermigrasi
Penulis‧ Lynn Su Foto‧Lin Min-hsuan Penerjemah‧Amina Tjandra
Februari 2024
台灣家庭廚房裡,除了常備醬油、醋、砂糖,還有一不可或缺的存在。那既不是豆瓣醬、XO醬,也不是辣椒醬或豆腐乳,而是,沙茶醬。
Dalam dapur keluarga orang Taiwan, selain bumbu-bumbu yang biasa dipakai yaitu kecap, cuka, dan gula, masih ada satu bumbu lagi yang keberadaannya tidak boleh kurang apalagi tidak tersedia. Bumbu ini bukan saus tauco atau saus XO, juga bukan saus sambal ataupun tahu fermentasi melainkan adalah saus shacha.
Masyarakat Taiwan sangat loyal terhadap saus shacha, tetapi jika ditelusuri asal usulnya, tidak dapat disangkal bahwa produk ini berasal dari luar negeri. Saus shacha adalah bumbu kuliner dari wilayah Chaoshan, provinsi Guangdong. Usai Perang Dunia II, sejumlah besar warga berpindah memasuki Taiwan, yang setelah melalui promosi lambat laun diterima oleh masyarakat Taiwan dan dikembangkan menjadi kearifan lokal unik tersendiri.
Seorang peneliti rempah-rempah, Angeline Tan yang berasal dari Malaysia, kebetulan leluhurnya berasal dari Chaoshan, ia telah menetap di Taiwan lebih dari 20 tahun, baginya “saus shacha” dapat dikatakan menjadi suatu kerinduan akan kampung halaman yang paling mendalam. Setiap akhir tahun kala musim produksi rempah-rempah segar, ia harus membuat sendiri saus shacha untuk persediaan satu tahun mendatang. Ini menjadi tradisi yang diturunkan dari keluarganya, sebagai pendatang generasi ke-4 asal Chaoshan yang berimigrasi ke Penang. Membuat saus shacha setiap akhir tahun menjadi acara tahunan serta melibatkan seluruh anggota keluarga baik tua maupun muda, bahkan teman atau kerabat yang datang berkunjung ke Nanyang pun wajib mengikuti acara tahunan ini.
Namun, apabila menilik lebih lanjut, saus shacha yang disukai oleh orang Chaoshan sebenarnya bukan berasal dari tempat ini, melainkan saus sate (satay sauce) yang populer di Asia Tenggara. Sate adalah daging tusuk yang dipanggang, masakan yang berasal dari Jawa - Indonesia, telah tersebar luas dan berkembang dengan cara pengolahan yang berbeda. Saus shacha terinspirasi dari saus sate yang terbuat dari bahan-bahan makanan yang sering ditemui di Asia Tenggara seperti kacang tanah, kunyit, santan, gula aren, lengkuas, asam jawa, adas manis dan rempah-rempah yang umum ditemukan dalam hidangan Asia Tenggara. Orang-orang Chaoshan yang berani berpetualang dan mahir berdagang, mendapat julukan sebagai “Orang Yahudi Timur” tiba di Asia Tenggara pada abad ke-19, setelah mencicipi sate, kemudian cita rasa dimodifikasi disesuaikan dengan selera orang Tionghoa maka sejak itu “sate” dari Asia Tenggara, menurut pelafalan dialek Teochew diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin disebut sebagai shacha (沙茶).
Saus shacha yang mendominasi dalam dunia bumbu di Taiwan, kulkas di setiap rumah masyarakat Taiwan pasti tersedia satu kaleng bumbu ini.
Angelina Tan yang berasal dari Malaysia, berstatus sebagai etnis Chaoshan yang memiliki tradisi membuat sendiri saus shacha, ini juga menjadi obat pelepas rindu akan kampung halamannya.
Bumbu Shacha ala Taiwan
Dari sate hingga shacha, aroma dan rasa yang telah mengalami perubahan dan inovasi baru, cara makan pun berubah. Orang Tionghoa tidak menggunakan saus shacha untuk dioleskan pada daging tusuk, melainkan disesuaikan dengan teknik dasar pengolahan makanan ala oriental, dikembangkan menjadi olahan shacha yang lezat (shacha cuisine). Saat ini masakan Chaoshan yang sangat populer seperti mi shacha, kwetiau sapi shacha, dan dikarenakan tempat ini menghasilkan daging sapi yang berlimpah, maka rebusan panas (hot pot) daging sapi shacha sangat terkenal. Setelah Perang Dunia II, masakan shacha ini mengikuti kelompok etnis yang berpindah dan tersebar luas di pelosok Taiwan. Jika mengamati cara memasak, tumis ala masakan Taiwan yang intuitif dan serba cepat, saus shacha telah membaur di antara hidangan masakan Taiwan, berbeda dengan rebusan panas shacha dari wilayah Chaoshan.
Rebusan panas (hot pot) shacha ala Singapura dan Malaysia masih mempertahankan cara pengolahan dengan rebusan panas (hot pot) tradisional wilayah Chaoshan. Angeline Tan berbagi cara pengolahan dari kampung halamannya, warga lokal akan menggunakan saus shacha sebagai bahan dasar untuk kuah rebusan panas, disiram ke dalam kuah kaldu tulang besar atau tulang ayam untuk menambah kelezatan rasa hidangan. Mengenai rebusan panas shacha ala Taiwan, sebagian besar menggunakan kuah polos (ada sebagian restoran yang menambahkan ikan sebelah (Psettodes erumei) dan saus shacha juga dijadikan sebagai cocolan, dua macam gaya hidangan yang jauh berbeda.
Mengapa bisa terjadi perbedaan seperti demikian? Tseng Lin-yi selaku asisten profesor dari Center for General Education di Taipei Medical University dan penulis buku “The Untold Story of Shacha Sauce” mendalami penelitian budaya makanan yang berkaitan dengan saus shacha. Ia mengemukakan, pola kebiasaan makan masyarakat Taiwan sangat dipengaruhi oleh Jepang, dibandingkan dengan pengolahan masakan ala Tionghoa yang lebih rumit, orang Taiwan lebih menyukai cita rasa asli dari bahan makanan dengan rasa yang lebih hambar.
Restoran Taipei terkenal “Yuan Xiang Shacha Hot Pot” kini dikelola oleh pemilik generasi ke-2, Bryan Wu menyampaikan satu spekulasi yang menarik yakni rebusan panas shacha Chaoshan barangkali terinspirasi dari laksa Asia Tenggara. Ia juga menduga, pada masa lalu, pelaku usaha makanan memisahkan saus shacha dari kuahnya, dengan maksud untuk menyesuaikan selera orang Taiwan, alasan lainnya adalah mungkin memulai usaha bisnis bertepatan pada awal masa pasca perang, sehingga persediaan bahan masih langka maka lebih hemat dalam pemakaian saus shacha.
Satu resep shacha memerlukan 30-50 jenis bahan makanan dan mengalami sedikit perubahan yang disesuaikan dengan produk lokal, selera warga setempat. Foto ini memperlihatkan bahan utama yang dipakai:
Shacha resep Angeline Tan mendapat pujian dan dijuluki sebagai “shacha yang kaya akan bahan makanan dan lezat”, yang diolah dari bahan makanan asli seperti dalam menyajikan rasa segar ikan sebelah, perlu dipanggang terlebih dahulu, baru melumatkan duri ikan yang menambah kelezatan rasa. (Sumber: Angeline Tan)
Bumbu Shacha Yang Telah Mengakar
Berdasarkan loyalitas orang Taiwan terhadap saus shacha, membuat penulis makanan Chen Jing-yi menyebut saus shacha sebagai “Raja Bumbu Taiwan”, menilik kembali sejarah perkembangan shacha di Taiwan, sebenarnya terbilang tidak terlalu panjang. Waktu kembali pada masa pasca perang, hampir sebagian besar orang Taiwan tidak hanya tidak mengetahui apa itu shacha, bahkan komunitas masyarakat petani, penganut kepercayaan tradisional tidak mengonsumsi saus shacha yang erat kaitannya dengan daging sapi.
Selain restoran memodifikasi cara pengolahan rebusan panas shacha, masih ada cara lain yang membuat saus ini semakin populer yaitu saus shacha kemasan kaleng yang lebih tahan lama dan mudah dibawa. Kemudian Liu Lai-qin yang berasal dari Chaozhou memperkenalkan dan memasarkan saus shacha kaleng merek Bull Head secara global. Sementara Du Xiang yang berasal dari Shantou juga meluncurkan beberapa merek yang representatif diantaranya Chih Niu, Huang Niu dan Hei Niu.
Di samping itu, “Masyarakat Taiwan mulai terbiasa dengan saus shacha seiring dengan dengan pertumbuhan ekonomi, perkembangan lingkungan perkotaan dan pedesaan.” Tseng Lin-yi berujar, di Ximending Kota Taipei, di Distrik Yancheng Kaoshiung, keduanya merupakan kawasan kota tua di masa kolonialisasi Jepang, dan merupakan area pengembangan untuk restoran shacha. Seiring dengan komunitas petani beralih ke industri dan perdagangan, anak-anak muda meninggalkan kampung halaman mereka berpindah dan menetap di kota. Saat pulang kerja, restoran shacha menjadi pilihan tepat bagi mereka untuk berkumpul dan makan bersama, kebiasaan enggan makan daging sapi terlihat menghilang secara perlahan karena perubahan ruang dan waktu.
Meskipun rebusan panas shacha pada saat ini terlihat kuno, akan tetapi makanan ini sangat populer pada era tahun 1960 – 1980. Dalam memori kenangan Bryan Wu, seusai menonton di Ximending, ia berlanjut makan di restoran hot pot shacha, ini adalah “paket acara” yang umum dilakukan orang-orang pada masa itu.
Selain masyarakat awam, restoran yang dikunjungi selebriti akan menciptakan sensasi dan menjadi topik pembicaraan, seperti restoran “Shantou Everday Shacha Hot Pot” di Kaoshiung pernah didatangi oleh penyanyi Fei Yu-ching dan Teresa Teng sehingga semakin menarik pencinta kuliner untuk menyambangi restoran ini. Karena “Yuan Xiang Shacha Hot Pot” adalah restoran favorit dari beberapa selebriti seperti Brigitte Lin, Chin Han dan Chang Hsiao-yen sehingga popularitasnya semakin tersebar luas.
Meskipun tren rebusan panas shacha telah memudar, akan tetapi dewasa ini bisa ditemukan di Taiwan beberapa restoran rebusan panas lainnya seperti hot pot ala Jepang, ala Hongkong dan lainnya, yang tetap menyediakan bumbu saus shacha. Saat menikmati hot pot, jika tanpa “rasa yang satu ini” maka dapat mengecewakan banyak orang Taiwan.
Penulis buku “The Untold Story of Shacha Sauce”, Tseng Lin-yi telah mengunjungi berbagai restoran shacha, mendalami sejarah dan latar belakang bumbu ini.
Restoran tua yang langka ditemui di Kota Taipei, “Yuan Xiang Shacha Hot Pot” pada awalnya berlokasi di Emei Street, Ximending. (Sumber: Bryan Wu)
Saus shacha sering ditemui di restoran di Taiwan dengan hidangan tumis cepat, menjadi bumbu penyedap yang pas untuk mie goreng, nasi goreng, tumis sayur kailan maupun kol.
Aneka Cita Rasa Merekam Jejak Bermigrasi
Sama halnya dengan sate, sejenis saus yang telah mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan perpindahan manusia, perbedaan produk lokal dari berbagai tempat dan preferensi makanan dari kelompok etnis, demikian pula saus shacha mengalami hal yang sama. Tidak sedikit pelaku industri menyebut, perkembangan saus shacha menunjukkan dua versi besar yaitu Chaoshan dan Fujian. Shacha versi Chaoshan dengan cita rasa makanan laut (seafood) yang lebih kental, seperti saus shacha kaleng merek Bull Head terdapat bahan tambahan udang rebon (Taiwan mauxia shrimp). Sedangkan shacha versi Fujian memiliki rasa kacang yang lebih kental, seperti shacha kaleng “merek Chin Hsiang” yang populer dewasa ini, dengan resep yang berasal dari restoran tua “Chin Hsiang Shacha Hot Pot” di kota Taipei.
Angeline Tan beranggapan, orang Taiwan suka menyantap shacha, terbiasa menambahkan bumbu penyedap seperti kecap, cuka putih dan lainnya, sehingga kadar keasinan shacha relatif rendah. Selain itu, bumbu ngo hiong pada shacha Taiwan cukup kuat, dan cenderung menambahkan rempah lainnya seperti ketumbar, kelapa parut dan lainnya. Satu resep saus shacha menggunakan perpaduan 30-50 jenis bahan, sehingga memberikan ruang penyesuaian pembuatan shacha untuk ditambah atau dikurangi yang disesuaikan dengan produk lokal, preferensi dan selera masing-masing.
Meskipun tidak ada resep standar yang diakui, shacha kemasan kaleng merek “Chin Hsiang” termasuk yang termahal di pasaran, pemiliknya Titan Wu mengungkap pihaknya mengadopsi standar pedoman dalam pengolahan produk makanan. Ia beranggapan, untuk menghasilkan saus shacha yang berkualitas maka pembuatannya harus menggunakan bahan makanan asli, tidak boleh menggunakan produk buatan yang sudah tersedia. Dari segi aromanya, selain rasa asin, “masih ada rasa manis dari kacang tanah, rasa gurih dari ikan sebelah dan rasa pedas dari cabai.” Gradasi bahan makanan yang sangat jelas, saat bersamaan menyatu dan menjadi kombinasi yang pas.
Aneka saus shacha, seiring berjalannya waktu terus mengalami perubahan. Sebagai contoh, resep saus shacha merek Bull Head, untuk menjamin keamanan makanan maka dengan berani meniadakan kandungan kacang tanah, juga demi menanggapi pelanggan kelompok vegan kemudian mempromosikan shacha versi vegan.
Contoh lainnya adalah shacha resep buatan Angeline Tan, yang berupaya membangkitkan cita rasa kampung halamannya, saat bersamaan juga menggunakan bahan makanan lokal, maka tetap memakai bahan-bahan yang sering ditemui di Asia Tenggara. Ia condong memprioritaskan pemilihan bahan lokal Taiwan, pembuatan bumbu tahun lalu (2022) dengan resep yang digunakan berkaitan erat dengan penelitian ilmiah tentang rempah-rempah wangi, melalui cara yang luar biasa dengan menambahkan jahe cangkang (Alpinia zerumbet), “Jahe cangkang memberikan rasa mint segar, saat bersamaan dapat bermanfaat meringankan rasa yang berat, serta efektif meredakan rasa eneg.” ujar Angeline Tan.
Satu jenis saus yang kaya akan gradasi rasa, memang jarang ditemukan pada makanan, yang bermaksud ingin mengekspresikan kerinduan dari lubuk hati manusia terhadap tanah airnya, jejak perjalanan bermigrasi dan usahanya untuk beradaptasi telah berbaur dengan kehidupan di tempat tinggal yang baru. Sebenarnya apa itu shacha? Mulai dari nama, atau dari bahan kandungan, sulit untuk dijelaskan dalam sepatah dua patah kata, tetapi melalui liku-liku perjalanan ini, bukankah juga menjadikan saus shacha semakin unik?
Bermula dari rumah makan “Chin Hsiang Shacha Hot Pot” di pinggir jalan kemudian dalam beberapa tahun terakhir meluncurkan saus shacha kemasan kaleng bermerek “Chin Hsiang” juga mendapat penilaian baik di pasaran. Gambar: pemilik generasi ke-2 Kuo Yin-ming.
Salah satu hidangan populer di kawasan selatan Taiwan adalah hot pot daging sapi shacha (warga selatan menyebutnya sebagai “hot pot daging sapi shacha”), memakai kuah bening dengan sayur tambahan seperti sawi putih, tomat dan tahu. Saus cocolannya selain shacha, masyarakat Taiwan juga terbiasa mencampurkan dengan kecap, cuka, daun bawang, bawang putih, dan cabai. Kaum senior ada yang masih menambahkan kuning telur mentah pada saus cocolannya.
Kawasan Ximending, Taipei yang maju berkembang pada masa kolonialisasi Jepang dipenuhi dengan restoran yang menyajikan saus shacha.