Penganan Beras, Kelezatan Tradisional dalam Balutan Inovasi
Songgao, Zhuang Yuan Gao
Penulis‧Cindy Li Foto‧Chuang Kung-ju Penerjemah‧Yunus Hendry
Februari 2025

Gerobak kecil yang mengepulkan uap panas, memamerkan sajian sederhana nan memikat, yakni kue beras putih yang tersusun rapi. Di panggung kecil ini, terpancar keindahan dan keistimewaan penganan beras, dan masih ada potensi tak terbatas yang dipancarkan oleh bulir padi setelah dipoles waktu.
Beras, telah menjadi makanan pokok penduduk pulau Taiwan sejak 4.000 tahun silam. Catatan sejarah “Dong Fan Ji” yang ditulis oleh Jenderal Dinasti Ming, Chen Di, pada tahun 1603, mengamati aktivitas sehari-hari Suku Penduduk Asli Taiwan, “Tanpa sawah, mereka mengolah ladang, menanam padi di lahan kering. Ketika bunga gunung bermekaran, mereka mulai bercocok tanam, dan saat panen tiba, mereka memanen bulir-bulir padi”. Catatan ini menjadi bukti nyata tentang hubungan erat antara beras dengan pulau ini sejak zaman dahulu.
Seiring berjalannya waktu, catatan tertulis yang ditemukan semakin memperlihatkan bahwa beras memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Taiwan, ritual keagamaan, perayaan musiman, bahkan dalam siklus kehidupan dari lahir hingga akhir hayat.

Zhuang yuan gao yang berbentuk seperti topi, pernah disamakan dengan Gunung Fuji oleh wisatawan asal Jepang.
Kedudukan Beras yang Tak Tergantikan
Jika melihat preferensi kuliner masyarakat modern Taiwan, beras japonica yang pulen dan kenyal, juga dikenal sebagai beras penglai, menjadi pilihan utama. Beras jenis ini biasanya diolah menjadi nasi putih atau bubur. Sementara itu, beras indica dengan kandungan amilopektin yang lebih rendah dan tekstur yang lebih pera, juga dikenal sebagai beras zailai, lebih cocok diolah menjadi jajanan seperti kue mangkuk, mitaimu (mi beras hakka), dan bihun. Sedangkan beras ketan, dengan teksturnya yang lengket dan kenyal, menjadi bahan utama untuk hidangan seperti bacang dan kue keranjang.
Menariknya, sebelum “revolusi mangkuk” beras japonica di zaman modern, beras indica telah lama mendominasi meja makan masyarakat Taiwan. Beras indica menjadi makanan pokok tiga kali sehari masyarakat Taiwan, dan diolah sebagai bahan baku untuk camilan serta sumber kalori tambahan lainnya.
Tak hanya dikonsumsi dalam bentuk aslinya, beras juga diolah menjadi tepung, adonan, dan dicampur dengan gula untuk menciptakan beragam penganan beras, yang mudah dibawa dan mengenyangkan, terutama bagi mereka yang bekerja di luar rumah.

Kepulan asap yang naik saat memasak penganan beras, membuka tirai pertunjukan metamorfosis bulir padi yang memukau.
Kelezatan Sekejap yang Menawan
Membuat penganan beras mungkin terlihat sederhana, cukup dikukus dengan api besar. Namun, kenyataannya, proses ini penuh tantangan, yang mana banyak para pembuat kue memiliki pemahaman mendalam tentang hal ini.
Wang Wen-min, Wakil Manajer Umum toko Patiseri Yu Jen Jai (Yu Zhen Zhai) di Lukang, menunjukkan, “Tepung terigu mengandung protein dan gluten, sehingga proses pembuatannya bisa selesai dalam beberapa jam. Sebaliknya, penganan beras dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti suhu dan kelembapan, sehingga prosesnya bisa memakan waktu berhari-hari.” Oleh karena itu, ketelitian dalam mengamati kondisi beras menjadi kunci bagi para pembuat penganan beras untuk memastikan setiap tahapan berjalan sempurna, terutama “saat memasak beras mentah menjadi hidangan yang matang sempurna”.
Pati, komponen utama dalam beras, mengalami perubahan volume dan viskositas selama proses pemasakan, seperti pengukusan atau pemanggangan. Proses inilah yang menghasilkan cita rasa, aroma, dan tampilan terbaik dari hidangan beras yang baru matang. Namun, jika momen terbaik ini terlewat, maka pati beras akan menua dan mengeras. Memanaskannya kembali tidak akan mengembalikan rasa autentiknya.
Oleh karena itu, orang Taiwan sering mengatakan, “Makan selagi panas, karena kalau sudah mendingin rasanya tidak akan seenak saat panas”. Ungkapan ini bukan sekadar anjuran biasa, melainkan karena keharuman dan manisnya penganan beras hanya bisa dinikmati di tempat asalnya, yakni kelezatan sekejap yang hanya bisa dirasakan ketika disajikan langsung.

Padi adalah anugerah bumi, tak hanya sebagai makanan pokok, tetapi juga diolah menjadi beragam penganan beras, memperkaya meja makan masyarakat Taiwan selama berabad-abad.
Zhuang Yuan Gao di Chiayi
Bagi warga Kota Chiayi, dua frasa “yang di Jalan Minzu itu” atau “ayo beli kue guan zai guo” merujuk pada satu tempat yang sama, yaitu Minzu Zhuang Yuan Gao, sebuah gerobak kue di Jalan Minzu, Kota Chiayi. Sejak tahun 1995, gerobak sederhana ini konsisten menjajakan menu andalannya, yaitu zhuang yuan gao dan suan mei tang.
Pan En-ping, generasi ketiga yang kini meneruskan usaha keluarganya, telah terbiasa membantu nenek dan ibunya di depan gerobak sejak kecil. Ia begitu familiar dengan proses pembuatan zhuang yuan gao. Dengan cekatan, ia mengisi cetakan berbentuk mangkuk dengan tepung beras dan isian, lalu meletakkannya di atas lubang kukusan yang mengepulkan uap panas. Setelah sepuluh detik, beras putih kini berubah menjadi setengah transparan akibat panas, menandakan zhuang yuan gao telah matang sempurna.
Meskipun tampak sederhana, proses ini ternyata menyembunyikan beberapa trik khusus, “Bagian tersulit dalam membuat zhuang yuan gao adalah perawatan cetakan dan persiapan bahan, terutama dalam mengontrol kelembapan tepung beras,” ungkap Pan En-ping. Cetakan yang terbuat dari kayu jati, dipilih karena daya tahannya terhadap air dan asam. Sebelum digunakan dan sebelum gerobak dibuka setiap hari, cetakan-cetakan ini harus ditangani dengan tepat agar tahan lama menghadapi proses pengukusan yang terus-menerus.
Tak hanya itu, tepung beras penglai yang telah melalui empat tahap pengolahan, yaitu perendaman, penggilingan basah menjadi cairan, pembentukan adonan, dan penggilingan kering menjadi tepung, juga harus disimpan dalam suhu rendah sebelum digunakan, untuk mencegah fermentasi dan jamur. Jika dimasukkan ke dalam suhu ruang, kelembapannya perlu diperhatikan dengan saksama. Pan En-ping menjelaskan, “Terlalu basah, tepung beras akan lengket di cetakan, sedangkan jika terlalu kering, tidak akan dapat menyerap air dengan baik.”
Pan En-ping menjelaskan detail pembuatan zhuang yuan gao dengan begitu antusias, sungguh sulit membayangkan bahwa dalam kesehariannya ia juga berprofesi sebagai penari dan tukang kayu. Mungkin karena beragamnya peran yang dijalani, membuatnya memiliki segudang kreativitas dan ide untuk zhuang yuan gao, yaitu penganan yang sering dianggap kuno. Dalam delapan tahun sejak mengambil alih usaha keluarga, Pan En-ping mengubah nama “Minzu” menjadi “Gao Guai”, menciptakan gerobak lipat yang mudah dibawa ke keramaian, dan berencana untuk mengoperasikan toko dan gerobak mobil secara bersamaan di masa mendatang. Ia bertekad untuk membawa zhuang yuan gao keluar dari batasan tradisi, memperkenalkannya dengan wajah baru di panggung yang lebih luas.

Berbagai jajanan penganan beras yang mudah dijumpai di pasar, seperti bacang dan wan guo yang gurih, atau cao zai guo, kue ku, dan jiuniang.

Berbagai jajanan penganan beras yang mudah dijumpai di pasar, seperti bacang dan wan guo yang gurih, atau cao zai guo, kue ku, dan jiuniang.

Berbagai jajanan penganan beras yang mudah dijumpai di pasar, seperti bacang dan wan guo yang gurih, atau cao zai guo, kue ku, dan jiuniang.

Dengan mengembangkan gerobak dorong dan mengganti namanya menjadi “Gao Guai Zhuang Yuan Gao”, Pan En-ping memberikan penampilan baru bagi kue beras kukus yang telah menemaninya sejak kecil.
Songgao, Paduan Inovasi dengan Tradisi
Kudapan tradisional penganan beras lokal lainnya adalah songgao buatan tangan ── jajanan khas Pasar Nanmen yang berasal dari “dapur perantau Tiongkok”.
“Tok, tok, tok”, bunyi ketukan berirama yang menandakan bahwa songgao putih nan lembut baru saja diangkat dari pengukus, semerbak aroma beras dan isiannya mengepul ke udara.
Dahulu, suara ini hanya akrab di telinga pelanggan setia Pasar Nanmen. Kini, berkat Hoshing 1947, gaungnya menjangkau lebih banyak orang, mengundang rasa penasaran para pelancong yang melintas di depan toko.
“Apa itu?” Pertanyaan yang sering terlontar dari para pelanggan ini, menunjukkan bahwa songgao tak lagi familier bagi generasi masa kini. Kerinduan untuk memperkenalkan kembali songgao kepada generasi mudalah yang kemudian mendorong pasangan Jen Chia-lun dan Cheng Kuang-yu, generasi ketiga toko kue tradisional Hoshing, untuk mendirikan Hoshing 1947.
Upaya mendandani tradisi dengan inovasi ini selaras dengan semangat perpaduan lama dan baru di Distrik Pertokoan Dihua. Tirai jingga di pintu masuk, tusuk gigi bambu sebagai teman mencicipi songgao, hingga benang merah yang menghiasi kotak kemasannya, semua adalah interpretasi dari pasutri Jen dengan Cheng atas busana panggung Dadaocheng untuk kue tradisional.
Sosok utama di atas panggung ── songgao, dengan rupa yang lebih mungil dan menawan. Cheng Kuang-yu bercerita tentang perjalanan panjang mereka mendesain dan mengukir mesin yang tepat untuk mencetak songgao mini. Berbagai pameran makanan dan mesin mereka jajaki berdua, diiringi rentetan kegagalan, hingga akhirnya menemukan cetakan jiwa yang mampu melahirkan songgao mini yang sempurna.
Kunci lain yang membuat songgao menjadi lezat adalah proses penggilingan beras putihnya. Setelah beras penglai dipilih, dicuci, dan direndam, kemudian digiling menjadi tepung dan diayak, lalu dimasukkan ke dalam cetakan dan dikukus hingga menjadi songgao yang lezat. Ukuran butiran tepung yang pas adalah kunci tekstur songgao yang lembut dan halus. Namun, tantangan baru muncul saat ukuran kue dikecilkan, yakni songgao mudah mengeras setelah dingin. “Kami pun bereksperimen dengan menyesuaikan kehalusan ayakan tepung untuk menjaga kelembapannya, sekaligus menciptakan tekstur yang kenyal,” jelas Cheng Kuang-yu.
Dengan dukungan sang ayah, Jen Tai-shing, pasangan ayah dan anak ini terus menapaki jalan baru untuk songgao tradisional sejak tahun 2016. “Mengembangkan varian rasa baru dan berkolaborasi dengan berbagai industri adalah cara kami untuk memperkenalkan songgao kepada khalayak yang lebih luas. Dengan demikian, semakin banyak orang mengenal Hoshing,” harap Cheng Kuang-yu.
Ia menuturkan, ada seorang pemuda mengajak orang tuanya mencicipi songgao di Dadaocheng. Tak disangka, orang tua mereka mengenali kue ini. Sepotong kue kecil pun menjadi jembatan komunikasi antar generasi. “Sama seperti kami yang tengah berinovasi, menemukan kembali ruang untuk berdialog dengan orang tua,” ungkap Cheng Kuang-yu.

Selain wijen dan kacang tanah, Pan En-ping juga berinovasi dengan menambahkan cokelat, matcha, bahkan nasi ayam khas Chiayi untuk menciptakan beragam varian rasa zhuang yuan gao.

Pasangan Jen Chia-lun dan Cheng Kuang-yu mengintegrasikan bantuan mesin dalam proses pembuatan songgao untuk meringankan beban fisik para pembuat kue senior. Namun, langkah-langkah penting seperti pemadatan songgao yang ikonik tetap dilakukan secara manual.

Pasangan Jen Chia-lun dan Cheng Kuang-yu mengintegrasikan bantuan mesin dalam proses pembuatan songgao untuk meringankan beban fisik para pembuat kue senior. Namun, langkah-langkah penting seperti pemadatan songgao yang ikonik tetap dilakukan secara manual.
Penganan Beras Taiwan Berbentuk Pulau Formosa
Jika kita menelusuri sejarah perkembangan penganan beras, membangun jembatan antara tradisi dengan inovasi mungkin merupakan arah yang terus diupayakan oleh setiap pembuat kue dari masa ke masa. Pepatah kuno dari Lukang mengatakan, “Mereka yang memegang pena makan kue feng yan, mereka yang memegang cangkul makan kue lidah sapi.” Ini menjadi saksi bagaimana penganan beras di Taiwan telah mengalami evolusi seiring waktu, dari yang awalnya hanya sebagai makanan pengisi perut, secara bertahap bergerak menuju arah yang lebih halus dan lekat dengan kearifan lokal.
Wang Wen-min, menjelaskan bahwa selain dikukus dengan api besar, para pembuat kue juga bereksperimen dengan metode lain untuk membuat penganan beras. Contohnya adalah gao zai lun ── sajian persembahan untuk Festival Zhongyuan pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek, yang dikukus perlahan dengan “uap air” selama satu jam setiap hari dalam tiga hari berturut-turut, menghasilkan kue kecil yang lembut tetapi tetap kenyal. Begitu juga dengan kue beligo yang terbuat dari tepung ketan, yang dikukus dengan uap kecil, menghasilkan kulit kue dengan isian beligo manis yang memiliki tekstur mochi yang banyak disukai orang.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian jangka panjang tentang budaya penganan beras Tionghoa, dia lebih lanjut menunjukkan bahwa kue beras manis yang biasa diberikan oleh kerabat dan teman sebagai penghormatan di upacara pemakaman di Taiwan, di Tiongkok justru merupakan hadiah penghiburan yang umum.
“Teori evolusi” penganan beras Taiwan, seiring dengan perbaikan teknik, penambahan bahan baku lokal, dan perbedaan kondisi geografis, telah dengan lembut melebur ke dalam budaya lokal, menyerap warna khas Pulau Formosa. Kini, tradisi penganan beras telah diwariskan kepada generasi baru, menulis bab baru dalam sejarah penganan beras, memberikan kesempatan kepada wisatawan dari seluruh dunia untuk “mencicipi” kelezatan yang sederhana ini.

Kertas-kertas catatan tulisan tangan yang terpajang di etalase toko kue tradisional Hoshing, tidak hanya mencantumkan nama dan harga produk, tetapi juga memberikan penjelasan tentang isi kue kepada pembeli baru, menciptakan suasana yang hangat dan ramah.

Kudapan penganan beras dan gula, yang dulunya hanya untuk mengganjal perut, kini telah berevolusi menjadi penganan ringan yang indah dan mewah. (Foto: Jimmy Lin)


