Kearifan Kuliner Berkelanjutan dan Rendah Karbon
Budaya Sayuran Liar dalam Tradisi Suku Amis
Penulis‧Esther Tseng Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Maria Sukamto
Juni 2025

Mu Ming Restaurant memanfaatkan masakan berbahan sayuran liar untuk menantang persepsi pelanggan terhadap bahan makanan serta imajinasi mereka tentang cita rasa.
Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa satu orang dari suku Amis lebih efisien daripada tiga mesin pemotong rumput. Suku Amis bahkan menyebut diri mereka sebagai “suku pemakan rumput”. Budaya meramban sayuran liar yang mereka pertahankan tidak hanya melestarikan kearifan kuliner tradisional, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan, rendah karbon, dan keanekaragaman hayati yang semakin relevan di era modern. Jika Anda berkunjung ke pasar tradisional, pasar malam wisata, atau restoran di Hualien dan Taitung, Anda akan menemukan jejak sayuran liar ini, menghadirkan cita rasa khas yang mencerminkan karakter tanah dan alam setempat.
“Apa Kabar ! Nga’ay ho!” Dengan sapaan hangat khas suku Amis ini, Wu Hsueh-yueh, Kepala Sekolah Sayuran Liar Masyarakat Adat di Kabupaten Hualien, menyambut tim jurnalis Taiwan Panorama dalam kunjungan mereka ke Pasar Pagi Chongqing di Hualien. Di atas rak, terdapat beragam sayur dan buah dengan bentuk unik, beberapa di antaranya adalah tanaman yang dikenal sebagai “sayur kuas” dari bunga alang-alang, tunas rotan yang menyerupai batang kayu, serta buah tepurang berwarna merah dan hijau.
Di pasar-pasar Hualien dapat ditemukan hidangan unik yang sulit dijumpai di pasar daerah lain, seperti siput liar. Para pedagang di Pasar Chongqing juga menawarkan layanan “masak sesuai permintaan”. Salah satu menu yang populer adalah tumis siput dengan daun kemangi dan jahe, ditambah sedikit arak beras untuk meningkatkan cita rasanya, ini adalah hidangan pelengkap paling ideal untuk minum arak. “Kalau hanya minum dua gelas saja, pasti kurang, harus minum sampai tiga atau empat gelas,” canda seorang pedagang. Semua hidangan ini merupakan kuliner khas yang tidak boleh dilewatkan saat berkunjung ke Hualien, terutama “sayuran liar” yang kaya akan cita rasa lokal dan mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam.
Sayuran Liar dalam Kehidupan Sehari-hari Suku Amis
Apa Itu sayuran liar? “Sejak kecil, para orang tua selalu memberi tahu kami bahwa jika berada di alam liar dan tidak menemukan makanan, cukup cari daun muda dari tanaman, letakkan di ujung lidah, dan cicipi sedikit, jika tidak membuat lidah mati rasa, maka itu adalah sayuran liar,” ujar Wu Hsueh-yueh. Melihat ekspresi heran saya, ia pun menambahkan, “Sayuran liar adalah semua tumbuhan berdaun hijau yang tumbuh secara alami di alam dan bisa dimakan, termasuk rumput yang dapat dikonsumsi maupun tanaman di kebun yang tumbuh tanpa perawatan khusus.”
Pada tahun 1995, ketika masih menjadi instruktur di Akademi Pendidikan Guru Hualien, Wu Hsueh-yueh mulai melakukan penelitian lapangan dan perambanan berbagai jenis sayuran liar secara sistematis. Bukunya, Edible Wild Greens of Taiwan’s Pangcah People, telah mencapai cetakan ke-20 pada tahun 2023 dan sekarang tersedia dalam versi bahasa Amis serta bahasa Inggris.
Ketika berbicara tentang sayuran liar, kita tidak bisa lepas dari suku Amis sebagai kelompok masyarakat penduduk asli terbesar di Taiwan yang mayoritas tinggal di Lembah Huatung, pesisir timur, dan Semenanjung Hengchun. Menurut Wu Hsueh-yueh, suku Amis dikenal sebagai ahli dalam meramban dan mengolah sayuran liar. Sebagai masyarakat matrilineal, di masa lalu, para nenek dan ibu dalam suku ini pergi bertani sambil meramban sayuran liar untuk dibawa pulang. Meskipun dewasa ini banyak warga suku Amis bekerja sebagai pegawai kantoran dan tidak memiliki waktu untuk meramban sendiri, mereka tetap membeli sayuran liar di pasar pagi atau pasar senja sebagai bagian dari kebiasaan mereka. Bagi mereka yang merantau ke luar daerah, sayuran liar menjadi simbol nostalgia terhadap kampung halaman.
Saat ini, hidangan hotpot sangat populer di Taiwan, tetapi menurut Wu Hsueh-yueh, suku Amis sebenarnya sudah lama memiliki tradisi serupa. “Sejak kecil, kami sudah terbiasa makan hotpot. Hidangan khas suku Amis yang disebut ‘sepuluh sayur satu sup’ adalah sup yang dimasak dengan sepuluh jenis sayuran liar, dan inilah bagian dari keseharian kami,” jelasnya. Di meja makan keluarga Amis, selalu tersedia sepiring jahe, sepiring cabai, dan tiga mangkuk besar sup sayuran liar. Ingin cita rasa yang lebih bervariasi, mereka kerap menambahkan siput liar ke dalam sup daun leunca, terutama sup tunas rotan yang dimasak dengan daun tepurang, jika ditambahkan dengan daging babi asin, maka akan menghasilkan cita rasa yang lebih gurih dan khas.

Di jalan kuliner Masyarakat Adat di Pasar Malam Wisata Dongdamen, pengunjung dapat memesan dan menikmati langsung hidangan berbahan sayuran liar. Untuk memudahkan konsumen, setiap hidangan juga disertai dengan nama menu dalam bahasa Mandarin.
Mengembalikan Hak Meramban Masyarakat Penduduk Adat
Setiap anggota suku Amis memiliki “markas rahasia” mereka sendiri. Wu Hsueh-yueh menjelaskan, “Kami, suku Amis, tidak hanya pandai makan tetapi juga cekatan dalam meramban. Di mana ada suku Amis, tumbuhan sayuran hijau pasti akan habis dikonsumsi! Mereka yang tinggal di pesisir bahkan mengumpulkan siput, kerang, rumput laut, dan tanaman air dari zona pasang surut.”
Sebagai anggota Komisi Keadilan Sejarah dan Transisi bagi Masyarakat Adat di Istana Kepresidenan pada periode pertama hingga ketiga, Wu Hsueh-yueh mengusulkan revisi terhadap “Peraturan Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat Adat Berdasarkan Kebiasaan Hidup Mereka”. Usulan ini akhirnya disahkan pada tahun 2019, memberikan hak yang lebih luas kepada masyarakat adat untuk meramban tanaman liar, buah liar, dan rumput liar di wilayah tradisional permukiman mereka, termasuk di hutan milik negara maupun lahan publik.
“Saat mengambil sayuran liar, kami tidak pernah mencabut sampai ke akar atau menghabiskan semuanya. Dengan begitu, tanaman tersebut dapat tumbuh kembali. Inilah konsep keberlanjutan yang kami pegang teguh.” Pada Desember 2020, Bupati Hualien, Hsu Chen-wei mengusulkan pendirian “Sekolah Sayuran Liar Masyarakat Adat” di sebuah area dekat Taman Meilunshan di Hualien. Sekolah ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat edukasi tentang makanan tradisional masyarakat adat, tetapi juga menjadi simbol identitas lokal Hualien. Melalui pameran dan lokakarya yang diadakan secara berkala, masyarakat luas dapat memahami lebih dalam nilai dan manfaat dari sayuran liar.

Wu Hsueh-yueh adalah orang pertama di Taiwan yang secara sistematis melakukan penelitian lapangan dan meramban sayuran liar, sehingga dijuluki sebagai “Ibu Sayuran Liar”.

Ararut yang mengandung kadar pati tinggi, pada zaman dahulu digunakan oleh masyarakat adat sebagai makanan cadangan untuk bayi guna mencukupi kekurangan ASI.

“Air Mata Kekasih”, yang sebenarnya adalah jamur selo, sangat lezat jika ditumis dengan telur.
Sayuran Liar sebagai Perwujudan Rendah Karbon dan Keanekaragaman Hayati
Gerakan Slow Food global, yang berasal dari Asosiasi Slow Food Italia, saat ini menekankan pentingnya keanekaragaman hayati untuk menyelamatkan makanan yang terancam punah dan melestarikan tradisi kuliner manusia. Prinsip ini sejalan dengan budaya konsumsi sayuran liar dalam masyarakat suku Amis.
“Sayuran liar adalah bentuk nyata dari keanekaragaman hayati,” ujar Wu Hsueh-yueh. Ia memberikan contoh bahwa negara-negara Austronesia juga mengonsumsi sayuran kecipir dan kacang gude. Ketika mengunjungi pasar petani kecil di Paris dan Italia, ia melihat beberapa sayuran yang umum di meja makan Amis, seperti pare berbentuk ban roda dan pakis pahit. Pakis pahit yang memiliki tekstur berlendir dan rasa getir bisa dihilangkan dengan cara perebusan singkat, kemudian ditumis atau digoreng, menjadi hidangan yang lezat.
Ia menekankan lebih lanjut, “Masyarakat adat di seluruh dunia itu sama, dari budaya kuliner mereka kita bisa menemukan jejak prinsip Slow Food.” Misalnya makan dari hasil lokal dan musiman, makanlah apa yang tersedia di musim ini. Menggunakan bahan pangan lokal, makanan akan lebih segar dan bernutrisi tinggi, mengingat jarak tempuh transportasi makanan menjadi singkat, dan mengurangi jejak karbon.
Di zaman dulu, sayuran liar menjadi sumber pangan penting untuk mengatasi kelaparan dan malnutrisi. Karena tumbuh secara alami tanpa perlu dibudidayakan, tanaman ini memiliki daya tahan luar biasa terhadap perubahan lingkungan. Dalam menghadapi krisis iklim dan ketahanan pangan yang semakin mengkhawatirkan, sayuran liar berperan dalam menanggulangi cuaca ekstrem dan membantu menyeimbangkan ekosistem. Sebagai contoh, alga biru-hijau darat dan jamur selo, yang terkenal sebagai “air mata kekasih”, mampu bertahan dalam kondisi panas terik hingga mengering sepenuhnya. Namun, begitu hujan turun, tanaman ini akan kembali hidup dan berkembang.

Rotan kuning berduri di seluruh batangnya, sehingga sulit untuk diolah, tetapi setelah dibuat menjadi sup iga rotan muda, hidangan ini menjadi menu andalan di banyak restoran.
Sayuran Liar dalam Kuliner Peraih Medali Emas
Sejak tahun 2021, Pemerintah Kabupaten Hualien mulai mengadakan Forum Slow Food dan mendirikan “Aliansi Koki Slow Food Masyarakat Adat” pertama di dunia untuk mempromosikan filosofi kuliner slow food dalam budaya masyarakat adat.
Sera Kahengangay, salah satu anggota aliansi ini, ia adalah koki dari restoran the Mu Ming Restaurant, yang juga menjadi Duta Slow Food Expo 2023. Dengan keahliannya dalam mengolah sayuran liar, ia berhasil meraih medali emas dalam kategori “Kuliner Internasional” di Kompetisi Master Chef Internasional Oseania 2023 di Selandia Baru.
Sera Kahengangay mengatakan, “Saat mendengar nama saya diumumkan sebagai pemenang, air mata saya langsung jatuh berderai, saya sangat terharu dan berbangga karena masakan khas Amis dari Hualien, Taiwan seperti Alivong-vong dan Bola Lobster dengan campuran daun rempah bernama Tana dalam bahasa Amis, mendapatkan pengakuan dari juri internasional.”
Dalam bahasa Amis, Alivong-vong adalah makanan tradisional yang terbuat dari beras kukus yang dibungkus dalam wadah seperti ketupat segi empat yang terbuat dari anyaman daun pandan tikar. Dulu, makanan ini digunakan sebagai bekal berburu atau bertani, karena praktis seperti bento yang bisa dibawa ke mana saja. Karena proses penganyaman wadahnya rumit dan membutuhkan tenaga, maka Alivong-vong juga dikenal sebagai bento kasih sayang. Dalam kompetisi di Selandia Baru, peserta harus menggunakan bahan lokal. Sera Kahengangay menunturkan lebih lanjut, saat ia berjalan mengelilingi hotel tempatnya menginap beberapa kali, ia menemukan daun pohon palem gunung untuk menggantikan daun pandan tikar sebagai pembungkus Alivong-vong. Ia juga menambahkan jali sebagai bahan utama. Keunikan ini menarik perhatian para juri yang sudah berpengalaman luas, mereka merasa takjub dengan kreativitasnya.
Sera Kahengangay menuturkan bahwa Kuliner Mu Ming ingin menyampaikan cita rasa keseharian masyarakat adat dan masakan ibu, misalnya, ia menggunakan akar jahe cangkang sebagai pengganti jahe biasa untuk merebus kaki babi, teknik memasak ini diwarisinya dari sang nenek. Ia juga memanggang ikan dengan bumbu serai, ini adalah pola masak sang kakek. Saat memasak di alam terbuka pada siang hari, kakeknya yang mengelola usaha penyulingan minyak serai, sering memasukkan seikat serai ke dalam perut ikan yang dibakar dengan garam saja, tindakannya ini menghasilkan aroma jeruk yang khas.
Sera Kahengangay memanfaatkan sayuran liar sepenuhnya untuk menantang persepsi pelanggan terhadap bahan makanan serta imajinasi mereka tentang cita rasa. Ia membuat minyak zaitun beraroma rendaman rempah-rempah: Bunga jahe cangkang, daun rempah Tana, makau yaitu lada hutan, dan beri kayu manis Taiwan serta saus minyak-cuka rasa rempah Tana, sebagai bumbu saus untuk selada dan hidangan pembuka.
Nama rempah yang terdengar asing bagi kita yaitu buah beri kayu manis Taiwan atau Imus dalam bahasa Amis, sebenarnya adalah buah dari pohon keluarga kamper dan memiliki aroma perpaduan antara lemon dan jahe. Ia juga memperkenalkan wasabi khas Amis cardamine flexuosa, sayuran liar berdaun kecil-kecil yang hanya tumbuh antara bulan November hingga Februari atau Maret tahun berikutnya. Tidak sepedas bawang rakkyo, wasabi khas Amis ini cocok untuk disantap bersama sashimi atau daging babi asin. Menurut Sera Kahengangay, rasa pedas dan getir wasabi khas Amis ini akan hilang jika dipanaskan, maka masyarakat adat lebih sering memakannya dalam keadaan mentah dengan mencelupkannya ke dalam air garam.
Selain hidangan unik tersebut, Sera Kahengangay juga mengolah sup sayuran liar dengan bahan seperti pepaya muda, labu, talas, dan bayam liar, menciptakan rasa yang kaya dan tekstur yang kompleks. Sera Kahengangay, humoris khas masyarakat adat, sambil bercanda mengatakan, “Sup ini jadi begitu kental karena saya lupa mematikan kompor.” Dengan begitu banyak sayuran liar yang terhubung dengan alam, saat berwisata ke Hualien dan Taitung, jangan lupa mengunjungi pasar tradisional dan pasar malam setempat untuk menemukan cita rasa khas daerah yang melampaui imajinasi.

Chef Sera Kahengangay dari the Mu Ming Restaurant, yang terkenal dengan kreativitasnya, meraih medali emas dalam Kompetisi Master Chef Internasional di Selandia Baru tahun 2023.

Pare ban roda, yang nama aslinya adalah terung roda, setelah direbus sebentar dapat menghilangkan rasa sepat dan pahitnya, dan bisa dinikmati dengan cara dipanggang atau digoreng untuk merasakan cita rasa aslinya.

Sup sayur liar khas the Mu Ming Restaurant memiliki cita rasa yang kaya dan berlapis-lapis, menjadikannya hidangan Amis yang sangat autentik.

Ikan bakar yang diberi tambahan serai akan menghasilkan aroma lemon alami yang lembut pada daging ikannya.

Daun pandan tikar dianyam menjadi wadah seperti ketupat segi empat, lalu diisi dengan beras dan dikukus, jadilah Alivong-vong.


