Penelitian Teknologi Darat, Laut dan Udara Lintas Negara
Program VOTE Taiwan – Filipina
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Farini Anwar
Desember 2024
Disebabkan oleh letak geografis, bencana alam yang dihadapi Taiwan dan Filipina hampir serupa, keduanya berada dalam cakupan lingkaran angin badai cuaca ekstrem. Kesamaan permasalahan yang dihadapi ini memberi peluang kerja sama antara Taiwan dan Filipina dalam penelitian ilmiah.
Taiwan dan Filipina mengadakan konferensi penting setiap dua tahun sekali. Konferensi ilmiah yang berlangsung sejak tahun 2007 ini, membahas secara mendalam potensi dan prospek kerja sama ilmiah regional antara Taiwan dan Filipina. Dalam konferensi kelima yang berlangsung pada tahun 2016, kedua belah pihak meluncurkan program penelitian kolaboratif dalam bidang gunung berapi, samudera, taifun, dan gempa bumi (Volcano, Ocean, Typhoon, Earthquake Technical Working Group) disingkat program VOTE. Konferensi kedelapan yang diselenggarakan tahun kemarin (2023) menghasilkan prestasi pertimbangan kerja sama, memutuskan untuk terus menggerakkan program kerja sama bilateral VOTE periode ketiga pada tahun 2024.
Hubungan Kerja Sama Saling Melengkapi
“Rata-rata ada lebih dari 20 taifun yang memasuki zona ekonomi eksklusif Filipina dalam setahun, yang memasuki daratan atau melintasi ada sekitar 9 taifun, sedangkan Taiwan ada sekitar 2 – 3 taifun.” Wakil Dirjen Direktorat Jenderal Cuaca Pusat Kementerian Transportasi Fong Chin-tzu, begitu berbicara langsung mengungkit bahwa kedua negara berbagi suka dan duka.
Ben Jong-dao Jou, profesor emeritus Ilmu Atmosfer Universitas Nasional Taiwan (National Taiwan University/NTU) mengatakan, Taifun Morakot menyerang Taiwan pada tahun 2009, pada saat itu selaku Koordinator Divisi Meteorologi di Sains dan Teknologi Nasional untuk Pengurangan Bencana (National Science and Technology Center for Disaster Reduction/NCDR) ia menyarankan untuk meningkatkan pengetahuan yang lebih baik tentang karakteristik dinamika cuaca buruk, agar waktu peringatan taifun dapat lebih dini. “Menilik dari letak geografis, Filipina adalah hulu dari Taiwan, apabila dapat memperkuat kerja sama dengan Filipina dan mendapatkan informasi pengamatan taifun melewati Pulau Luzon dan laut sekitarnya lebih awal, maka akan sangat membantu Taiwan dalam prakiraan taifun.”
Oleh karena itu, sejak tahun 2009, Taiwan memberikan bantuan kepada Filipina untuk mendirikan 15 stasiun pengamatan cuaca otomatis, 1 pusat pemantauan data dan stasiun pengamatan atmosfer atas, untuk meningkatkan kemampuan dalam memprediksi jalur taifun dari kedua belah pihak. Pada tahun yang sama, Taiwan dan Filipina mendirikan Pusat Penelitian Taifun dan Masyarakat Sosial APEC (APEC Research Center for Typhoon and Society) di bawah kerangka Forum Kerja Sama Ekonomi Asia – Pasifik (APEC), mengumpulkan informasi mengenai taifun dan hasil penelitian dari berbagai negara, meneliti pengaruh taifun terhadap tingkat sosial ekonomi di wilayah tersebut. Program VOTE diluncurkan pada tahun 2016 untuk memajukan penelitian ilmiah melalui kerja sama antar akademisi dan badan cuaca kedua belah pihak.
Dengan Program VOTE Taiwan – Filipina, membantu Filipina menempatkan model cuaca, dan melatih kemampuan memperkirakan cuaca bagi teknis lokal Filipina (Foto: Direktorat Jenderal Cuaca Pusat)
Dari Pelatihan Personil Hingga Berbagi Data
“Prakiraan cuaca sebenarnya adalah prestasi dari kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu negara.” Fong Chin-tzu menjelaskan, “Perkembangan Taiwan pada bagian ini lebih maju, dapat mengekspor lebih banyak teknologi.” Ben Jong-dao Jou mengemukakan bahwa tenaga-tenaga talenta lokal Filipina pada dasarnya dapat menangani data iklim yang sederhana, tetapi belum dapat memproses cuaca yang rumit dengan banyak perubahan. Iklim dan cuaca tidaklah sama, cuaca adalah mengacu pada perubahan atmosfer dalam jangka pendek dan sangat bervariasi, “Harus memiliki kemampuan memproses dan menganalisis data dengan sangat cepat jika ingin membuat prakiraan cuaca.”
Data yang dikumpulkan kembali dari stasiun-stasiun pengamat yang ditempatkan di tiap-tiap tempat bersifat kompleks dan terperinci, mencakup data suhu, kelembapan, volume hujan, kecepatan angin, arah angin, tekanan udara dan lainnya, Fong Chin-tzu menjelaskan, bagaimana pemrosesan, penyaringan dan penggunaan data secara optimal dalam setiap mata rantai sebenarnya melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang juga disebut “asimilasi data” oleh para ahli cuaca.
Setelah mengasimilasi data, baru kemudian dimasukan ke dalam komputer model cuaca. Meskipun dikatakan bahwa model cuaca yang digunakan global secara umumnya universal, tetapi tiap-tiap tempat tetap perlu melakukan penyesuaian berdasarkan kondisi meteorologi setempat agar dapat lebih akurat. Selama beberapa tahun Taiwan telah berbagi sistem analisis prakiraan taifun yang lebih maju untuk membantu Ditjen Layanan Atmosfer, Geofisika dan Astronomi Filipina (Philippine Atmospheric, Geophysical and Astronomical Services Administration, PAGASA) membentuk model cuaca, meningkatkan efisiensi kerja taifun dan melatih teknis lokal Filipina dalam kemampuan memperkirakan curah hujan yang diperoleh dari radar, data model oseanografi dan prakiraan iklim jangka pendek.
Selain keahlian di bidang meteorologi, Ben Jong-dao Jou juga berbagi pengalaman bekerja sama dengan Badan Pembangunan Pedesaan dan Konservasi Tanah dan Air di bawah Kementerian Pertanian (MOA) Taiwan dengan Filipina untuk membantu memperkirakan volume curah hujan saat hujan deras di wilayah pegunungan. Menempatkan disdrometer untuk mengumpulkan data karakteristik mikrofisika curah hujan dekat permukaan tanah, meletakkan landasan bagi pembangunan sistem peringatan dini tanah longsor.
Datang dan pergi silih berganti, Filipina berbagi data kuantitatif waktu riil yang dikumpulkan dari radar lokal dan radiosonde untuk membantu Taiwan memprediksi arah taifun dan prakiraan cuaca lebih rinci terlebih dulu. Ben Jong-dao Jou mencontohkan taifun Meranti yang dashyat pada tahun 2016, dengan gabungan data radar Taiwan dan Filipina untuk menggambarkan peta refleksivitas radar taifun yang sempurna, data tangan pertama langsung memungkinkan Taiwan untuk membangun mekanisme pertahanan lengkap terhadap kemungkinan bencana yang diakibatkan taifun.
Taifun Morakot mengakibatkan kerugian besar bagi Taiwan. Ben Jong-dao Jou pada tahun tersebut menyarankan untuk bekerja sama dengan Filipina agar dapat lebih awal mendapatkan informasi dari pengamatan taifun yang melewati Pulau Luzon dan perairan sekitarnya, hal ini akan sangat membantu prakiraan taifun di Taiwan
Kerja Sama Bawah Laut Lintas Negara
Kepala Jurusan Ilmu Bumi (College for Earth Sciences) National Central University, yang juga adalah Kepala VOTE TWG (Volcano, Ocean, Typhoon, Earthquake Technical Working Group) Dewan Sains dan Teknologi, Hsu Shu-kun mengatakan, “Penelitian saya terutama berfokus pada penggunaan fisika untuk mempelajari bumi ini, hanya saja pekerjaan saya kebanyakan dilakukan di laut, jadi juga disebut geofisika kelautan. Banyak gempa bumi yang terjadi di subduksi lempeng dan palung samudera, di mana lempeng-lempeng tersebut terkubur di bawah dasar laut sehingga untuk mengetahui struktur geologi palung laut juga harus bergantung pada survei kami.”
Ingin mengetahui situasi geologi bawah laut, para ilmuwan menggunakan sonar sebagai alat bantu. Hsu Shu-kun menjelaskan, para pakar dapat memperkirakan perbedaan struktur geologi di bawah dasar laut dengan mendeteksi pembiasan dan pantulan dari gelombang suara yang ditembakan ke dalam air laut. Apabila terdapat tanda-tanda tidak kontinuitas, hal ini menandakan ada efek dari kekuatan eksternal yang telah mengubah lapisan dasar laut, yang juga berarti sempat terjadi gempa besar di lokasi tersebut.
Hsu Shu-kun mengungkapkan, salah satu dari tujuan program VOTE adalah untuk memahami topografi bawah laut dari zona subduksi Palung Manila antara Ryukyu hingga Taiwan dan Filipina. “Dari Ryukyu Jepang hingga ke Taiwan baru ke Filipina, sebenarnya kita semua bersama berada di pertemuan lempeng tektonik laut Filipina dan Eurasia, kita adalah satu komunitas.” Hsu Shu-kun menjelaskan, zona subduksi lempeng sering menjadi tempat terjadinya gempa bumi, akan tetapi data dari kondisi Palung Manila masih tetap seperti 20 tahun lebih yang lalu, data yang masih kasar, belum ada kejelasan apakah di Palung Manila sempat terjadi gempa bumi besar dan tsunami.
Melalui program kerja sama VOTE, dari interpretasi gelombang suara yang ditembakan oleh tim Hsu Shu-kun ditemukan, sedimen bawah laut terlihat jelas mengalami kompresi bahkan sampai ada retakan. Ini menunjukkan bahwa Palung Manila telah terjadi beberapa kali gempa bumi yang ditimbulkan akibat pergerakan lempeng tektonik di zona subduksi Palung Manila.
“Ini juga adalah sebuah peluang besar bagi kami untuk bekerja sama dengan Filipina. Penelitian oseanografi Taiwan lebih maju di bandingkan Asia Tenggara, penelitian lintas negara dapat memberikan manfaat bagi negara tetangga, juga dapat membantu memahami dan membantu diri kita sendiri,” tutur Hsu Shu-kun.
Gelombang suara yang dihasilkan dari senapan angin seismik, gelombang suara ditransmisikan ke dasar laut melalui formasi dan kemudian memantulkan kembali sinyal untuk mempelajari struktur dasar laut. Gambar memperlihatkan hasil eksplorasi geologi Palung Manila. (Foto: Hsu Shu-kun)
Ingin Memahami Taiwan,Harus ke Filipina
“Penelitian meteorologi adalah seperti angkatan udara, penelitian guru Hsu Shu-kun adalah angkatan laut, dan saya adalah angkatan darat.” Dengan metafora sederhana ini Lee Yuan-hsi, professor jurusan Ilmu Bumi dan Lingkungan National Central University, menjelaskan penetapan pembagian tugas Program VOTE, lalu menceritakan daya tarik penelitiannya, “Saya sangat suka meneliti orogeni (mengacu pada gaya dan peristiwa yang mengarah ke deformasi struktural besar litosfer Bumi /kerak bumi karena interaksi antara lempeng-lempeng tektonik), seperti bagaimana terbentuknya gunung di Taiwan.”
Pembentukan pulau Taiwan adalah akibat dari pergerakan Lempeng Filipina dan Lempeng Eurasia yang saling bertabrakan, kapan awal terjadinya? Bagaimana pergerakan lempeng? Yang ingin diteliti semakin rinci Lee Yuan-hsi adalah proses seluruh evolusi. “Sebenarnya banyak perbedaan pendapat dari model pergerakan lempeng, jika tidak diuji, maka tidak akan pernah tahu kebenaran dari masing-masing teori.” Ini juga alasan ia bergabung dalam Program VOTE, mencari bukti dengan melakukan perjalanan ribuan kilometer ke Filipina, Jepang dan lainnya. “Jika bukti dari tiga tempat ini memperlihatkan hal yang sama, maka kemungkinan model tersebut benar sangat tinggi.”
Ia terlebih dulu membicarakan penelitian pulau Mindoro Filipina, mengungkapkan bahwa pulau terbesar ketujuh di Filipina ini ternyata memiliki kemiripan yang sulit untuk dipercaya, dari penelitian Lee Yuan-hsi ditemukan, pembentukan pulau Mindoro dan Taiwan terjadi pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada 37 juta tahun yang lalu. Taiwan dan pulau Mindoro memiliki sejarah geologi yang serupa, ini juga yang menjadi alasan keduanya sangat mirip, ternyata kita adalah kakak beradik.
“Tahukah Anda, pesisir dan pegunungan Taiwan sebenarnya adalah bagian dari Busur Vulkanik Luzon?” Ia membeberkan model pergerakan lempeng, lihatlah bagaimana pergerakan masing-masing lempeng tektonik, sambil menjelaskan, “Taiwan, selain ada sebagian yang terbentuk karena orogeni sendiri, ada sebagian adalah berasal dari Busur Vulkanik Luzon. Sebagian dari pesisir dan pegunungan kita sebenarnya adalah bagian dari Busur Vulkanik Luzon, sehingga jika melakukan penelitian ke Filipina, selain dapat lebih memahami sejarah evolusi Busur Vulkanik Luzon, kita juga dapat semakin memahami pesisir dan pegunungan Taiwan.”
Dua petunjuk yang sering Lee Yuan-hsi kemukakan kepada murid-muridnya, “Ingin memahami Taiwan, kalau hanya dari memahami Taiwan saja maka tidak dapat secara menyeluruh. Anda harus ke Jepang dan Filipina.” Sebuah kalimat yang mengungkapkan prinsip dunia adalah satu keluarga.
Saat melakukan studi lapangan di Filipina, Lee Yuan –hsi sering merasakan kesamaan dan kedekatan geologi Taiwan dan Filipina. Gambar ini memperlihatkan kawasan pegunungan di timur laut Pulau Mindoro yang mirip dengan bagian timur Taiwan, jenis-jenis batuannya juga sangat mirip. (Foto: Lee Yuan-hsi)