Dialog Penduduk Asli Taiwan - Filipina
Mengarah ke Kemitraan Global
Penulis‧Cathy Teng Foto‧Jimmy Lin Penerjemah‧Farini Anwar
Februari 2025

Lanskap sawah bertingkat (terasering) Ifugao yang dimasukan dalam daftar UNESCO, di sinilah tim Taiwan dan Filipina melangsungkan pertukaran dan dialog internasional. (Foto: Young Shau-lou)
Hubungan antara Taiwan dan Filipina terjalin erat lain dari hubungan pada umumnya, dan dapat ditelusuri dari masa di mana masyarakat rumpun Austronesia bermigrasi. Bukti-bukti arkeologi sebelumnya telah mengusulkan argumen bahwa Taiwan adalah tempat bermulanya masyarakat Austronesia, penelitian para pakar menunjukan jalur migrasi bermula dari Taiwan, terlebih dulu mengarah ke kepulauan Filipina, baru kemudian mengarah ke selatan hingga ke Borneo, setelah itu terbagi menjadi dua yaitu mengarah ke sebelah timur ke Samudera Pasifik dan mengarah ke sebelah barat ke Samudera Hindia.
Dari jalur migrasi dapat terlihat, hubungan masyarakat adat Taiwan dan Filipina telah terjalin sejak dahulu kala, juga terdapat kemiripan dalam budaya. Mereka termasuk dalam pemilik tanah yang datang terlebih dulu dan menghadapi lika-liku sejarah, invasi penindasan dari kelompok etnis luar, kebangkitan gerakan etnis dari kedua tempat semua berlangsung pada tahun 1980 an; setelah memasuki abad ke-21, isu revitalisasi budaya tetap berlanjut, karena itu jalinan hubungan antar masyarakat adat lintas negara lebih memiliki makna kontemporer.
Berawal dari Orientasi Manusia
Dalam laman media sosial Facebook dari Kepala Jurusan Etnologi Universitas Nasional Cheng Chi, Daya Dakasi, berbagi banyak informasi forum, ceramah, dan seminar terkait masyarakat adat Asia Tenggara. Anda akan terkejut dengan kekayaragaman penelitian masyarakat adat Asia Tenggara di kalangan akademis baik lokal maupun internasional.
Universitas National Cheng Chi (NCCU) yang telah lama terjun dalam penelitian kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun terakhir ini sudah menunjukan hasil. Pada tahun 2015 bekerja sama dengan Universitas California Los Angeles (UCLA), NCCU melakukan kelas penelitian lapangan di kawasan Ifugao Filipina, mendirikan Pusat Penelitian Asia Tenggara pada tahun 2016, dan dengan dukungan dari National Science and Technology Council (NSTC) pada tahun 2018 melaksanakan proyek “Pusat Penelitian Teknologi dan Pengetahuan Masyarakat Adat Taiwan - Filipna, Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Berkelanjutan”, menghubungkan NCCU dengan sumber daya internasional di Amerika dan Filipina. Melalui pertukaran dan interaksi, jalinan hubungan saling percaya antara Taiwan dan wilayah Ifugao di Filipina secara bertahap terbentuk, bahkan mendirikan basis penelitian lapangan di kedua belah pihak, di Filipina berada di kawasan Ifugao sedangkan Taiwan di Sqoyaw, sebuah komunitas suku Atayal.
Tahun 2019, Universitas Nasional Cheng Chi mendirikan kantor “Pusat Penelitian Teknologi untuk Pengetahuan Masyarakat Adat Taiwan - Filipina” di Filipina dalam kawasan kampus Universitas Lamut di Ifugao. Selama masa pandemi, kedua belah pihak melalui video call, penelitian daring dan lainnya, terus berkomunikasi, melakukan pertukaran, dan melaksanakan studi banding pengetahuan masyarakat adat lokal lintas negara.
Selaku Direktur Eksekutif Proyek, Daya Dakasi mengemukakan bahwa pengembangan ini sebenarnya berdasarkan pada “Kebijakan Baru Arah Selatan. Kebijakan Baru Arah Selatan harus dibangun berdasarkan hubungan budaya yang mendalam dan persahabatan sejati, dengan cara ini hubungan ekonomi perdagangan baru dapat stabil.”

Daya Dakasi menunjukkan, di bawah pemikiran Kebijakan Baru Arah Selatan, pertukaran dengan dunia internasinal lebih berfokus pada humaniora dan pengetahuan lokal, karena hanya dengan jalinan persahabatan sejati dan rasa hormat yang tulus baru dapat membangun hubungan yang stabil seperti sekarang.
Tantangan Umum yang Dihadapi Bersama
“Terdapat sebuah titik kesamaan dalam perjalanan sejarah masyarakat penduduk asli di kawasan pegunungan Taiwan dan Filipina, yaitu mereka semuanya adalah tempat terakhir masuknya kekuatan kolonial eksternal.” jelas Daya Dakasi. Pemerintah koloni Jepang baru memasuki wilayah pegunungan Taiwan pada awal abad ke-20. Meskipun Filipina dimasukan sebagai kawasan koloni Spanyol pada tahun 1565, tetapi kekuasaan kolonial tidak menyebar hingga ke seluruh Filipina, seperti kawasan pegunungan Cordillera, Provinsi Ifugao, bagian utara pulau Luzon, semua masih belum termasuk dalam yurisdiksi manapun. Hingga tahun 1898, Filipina diserahkan kepada Amerika oleh Spanyol, lalu Amerika Serikat membangun sistem pendidikan di tiap-tiap daerah, barulah kekuatan pemerintahan kolonial barat efektif terbentuk di kawasan pegunungan dan benar-benar memengaruhi kehidupan penduduk asli setempat.
Latar belakang yang serupa, masyarakat adat di kedua tempat menghadapi permasalahan entitas nasional masing-masing seperti bagaimana beradaptasi untuk melestarikan tradisi, beradaptasi dengan pembangunan, merespons kekuatan pasar dan bahkan identitas nasional serta masalah lainnya.
Wu Yi-chin yang baru meraih gelar PhD Jurusan Studi Pembangunan di University of Sussex Inggris pada tahun 2023, dalam tesisnya membahas bagaimana pengetahuan tradisional berinteraksi dengan peradaban modern dari penduduk asli, untuk itu Wu Yi-chin menghabiskan waktu satu tahun di Ifugao untuk meneliti bagaimana masyarakat adat menerapkan pengetahuan tradisional dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana pengetahuan tradisional dan peradaban modern menyatu atau bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, pengetahuan tradisional dalam teknik pertanian, tenun dan medis, karena teknik pertanian dan tenun dipandang sebagai warisan budaya penting sehingga pelestariannya diperkuat. Namun di sisi lain, sehubungan dengan mayoritas masyarakat Filipina menganut agama Katolik, sehingga layanan kesehatan tradisional dan upacara ritual dari dukun mendapat label negatif dan sengaja ditekan. “Mengapa aspek-aspek tertentu dalam warisan budaya di kawasan Ifugao ada yang dikembangkan atau ada yang tidak dikembangkan, hal ini bukan hanya karena penampilan dari permukaan saja, melainkan masih banyak faktor yang kompleks.” Demikian jelas Wu Yi-chin.
Ini juga yang menjadi fokus penting dari etnologi. Berbeda dengan linguistik dan arkeologi yang penelusurannya berdasarkan dari petunjuk dan bukti dari masa lalu, etnologi mengadopsi kajian holistik dari kesulitan yang dihadapi penduduk asli dalam komunitas masyarakat kontemporer, “Dengan perspektif ini, kita tidak saja dapat melihat kesamaan dalam sejarah masa lalu, juga melihat tantangan yang dihadapi penduduk asli Taiwan dan Filipina dalam proses dekolonisasi dan perkembangan kotemporer.”

Filipina menggunakan restorasi sawah terasering untuk mengatasi permaslaahan ekonomi dan pembangunan sosial. Usai panen padi, warga Ifugao menyelenggarakan ritual tarik tambang di sungai dan perayaan “Punnuk”. (Foto: Young Shau-lou)
Dari Taiwan Terhubung ke Ifugao
Provinsi Ifugao terletak di bagian utara Luzon yang merupakan pulau besar pertama di Filipina, kawasan ini mewarisi kearifan nenek moyang, penggunaan batu dan dinding tanah untuk membangun hamparan sawah bertingkat (terasering) di juram terjal sehingga dapat bercocok tanam, hal ini memperlihatkan keberadaan hubungan hidup berdampingan yang harmonis antara manusia dan alam. Kawasan ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO).
Sejak tahun 2015, Daya Dakasi mengundang sahabat-sahabat dari latar belakang berbeda untuk melakukan kunjungan pertukaran ke Ifugao. Daya Dakasi memberikan contoh, dunia akademisi selalu beranggapan penggalian situs bersejarah adalah hal yang wajar, tetapi para sesepuh masyarakat penduduk asli yang mengunjungi lokasi penggalian arkeolog di Ifugao terus menerus meminta Daya Dakasi untuk menerjemahkan dan menanyakan apakah tindakan mereka sudah mendapatkan persetujuan dari komunitas penduduk asli setempat. Pengalaman sesepuh menunjukan bahwa setiap peran memiliki perspektif dan pemikiran masing-masing, Daya Dakasi menjelaskan, menghadapi konflik pengetahuan modern dengan pengetahuan tradisional seperti ini, semakin memerlukan pertimbangan dan komunikasi dalam mengambil tindakan.
Wu Yi-chin berbagi perbedaan aktivis penduduk asli dari kedua tempat ini, “Dalam membahas permasalahan penduduk asli, perspektif Filipina lebih terbuka luas, tidak hanya membahas penduduk asli, melainkan akan sekaligus memasukan pembahasan tenaga kerja, ibu dan perempuan serta permasalahan lainnya. Sementara Taiwan hanya terbatas pada masalah etnis saja, hal ini sangat disayangkan.”

Filipina dan Taiwan sama-sama negara kepulauan dan telah mengembangkan karakteristik dan teknik tenun yang berbeda, tetapi kedua belah pihak berupaya keras melestarikan budaya tradisional. (Foto: Pilin Yapu)

Filipina dan Taiwan sama-sama negara kepulauan dan telah mengembangkan karakteristik dan teknik tenun yang berbeda, tetapi kedua belah pihak berupaya keras melestarikan budaya tradisional. (Foto: Pilin Yapu)
Praktik Sosial Akademis
Daya Dakasi mengingatkan kami, penelitian terhadap penduduk asli, “Harus dapat berintegrasi dengan masyarakat, penelitian itu sendiri adalah sebuah bentuk gerakan untuk memecahkan permasalahan masyarakat.” Oleh karena itu, dibentuklah tiga bidang yaitu ekologi budaya, pembangunan sosial dan tata kelola lingkungan dalam awal perencanaan pertukaran bilateral. Ekologi budaya atau yang disebut restorasi padi, berfokus pada makna dari interaksi antara manusia dan lingkungan. Pembangunan sosial mengkaji isu-isu pembangunan yang muncul ketika budaya menjadi tunduk pada mekanisme pasar. Untuk tata kelola lingkungan berkaitan dengan isu-isu konservasi alam seperti hidrologi lingkungan dan lainnya yang timbul setelah restorasi sawah bertingkat (terasering). Semua ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat dari kedua belah tempat, melalui berbagi pengalaman dan pengetahuan masyarakat adat di kedua belah tempat maka bisa diperoleh referensi contoh praktik dan pencerahan untuk dipelajari.
Pendidikan Masyarakat Adat
Pada tahun 2022, Daya Dakasi mengundang Pilin Yapu untuk melakukan inspeksi ke Ifugao, ia adalah kepala sekolah eksperimen penduduk asli —— Sekolah Dasar P’uma di Taichung, yang juga membidani pendidikan eksperimen penduduk asli Taiwan.
Ia mengatakan, “Taiwan memiliki pemerintahan yang menerapkan kebijakan bagi penduduk asli, sedangkan kemampuan lokal Filipina kebanyakan terkonsentrasi di universitas.” Mungkin karena besarnya ragam kelompok etnis lokal Filipina sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan kurikulum tiap-tiap kelompok etnis, tetapi dengan memanfaatkan universitas lokal dalam mengembangkan bahan ajar menjadi modul dan metode pengajaran, mengundang orang-orang dari masing-masing kelompok etnis untuk belajar. Metode ini menunjukkan vitalitas pengembangan otonom di universitas dan keragaman saluran pelatihan pengajar, Pilin Yapu melihatnya sebagai keunggulan yang dapat dijadikan referensi dalam pembinaan guru di Taiwan.
Sedangkan di Taiwan, di mana Undang-Undang Pendidikan bagi Penduduk Asli diberlakukan, setiap suku dapat mengembangkan kurikulum khusus bagi suku mereka sendiri. Sebagai contohnya suku atayal, Pilin Yapu melalui konsultasi mengenai nilai inti pendidikan budaya suku Atayal dengan para sesepuh, dan menyimpulkan “Atayal na balay Kinya lyutu na Atayan” (menjadi manusia sejati, memiliki jiwa seorang Atayal), dengan berpusat pada ajaran leluhur suku Atayal GAGA, terbagi menjadi 7 arahan besar, 26 tema, 338 unit, dengan total 2.560 bab. Pengalaman seperti ini dibawanya ke Filipina untuk dibagikan membuat penduduk lokal setempat takjub.
Menilik dari konten bahan ajar, kepala sekolah menunjukkan, bahan ajar lokal Ifugao berfokus pada pewarisan budaya dan pewarisan keterampilan, sedangan konten pelajaran Taiwan lebih bersifat menyeluruh, mulai dari semangat suku Atayal, kosmologi, filsafat, ritual musiman hingga ke sejarah komunitas, organisasi sosial, lagu rakyat, sejarah migrasi dan lainnya, “Kami lebih komprehensif.”

Pilin Yupa (kiri) diundang ke Ifugao, Filipina untuk berbagi pengalaman pendidikan penduduk asli Taiwan. (Foto: Daya Dakasi)

Pilin Yapu menyampaikan, jalur pendidikan etnis lokal Ifugao lebih bergantung pada para aktifivis, khususnya kemampuan universitas setempat. (Foto: Pilin Yapu)
Lokal Adalah Jalan Menuju Global
Di era ketika pentingnya pengetahuan penduduk asli dibicarakan di seluruh dunia, penduduk asli Taiwan dan Filipina menghadapi permasalahan, bagaimana budaya tradisional beradaptasi dalam masyarakat modern, “Lokal adalah jalan untuk menuju global, melalui berbagi pengalaman, saling memberikan dukungan antara penduduk asli dalam menghadapi berbagai tantangan.” Daya Dakasi mengungkapkan kalimat yang menyoroti inti dari pertukaran masyarakat adat Taiwan dan Filipina.




